Mau Cari Apa?

Friday 4 October 2019

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 4 April 2019 #1

Tahun ini adalah tahun ke-delapan saya mengenal seorang pria yang bernama M. Dio Oktarustandy R. atau yang sering saya panggil Bang Dio. Saya mengenalnya sejak tahun pertama saya kuliah dulu. Sebagian besar pendakian yang saya lakukan selalu bersamanya. Dia bukan orang yang pertama kali mengenalkan gunung kepada saya dan dia juga bukan orang yang pertama kali mengajak saya mendaki gunung tetapi perannya dalam pendakian saya sangatlah berarti. Kebetulan saja setelah pendakian pertama saya pada tahun 2013 lalu, yang kebetulan juga bersamanya, saya mulai mempercayakan beberapa pendakian saya selanjutnya bersamanya. Jangan ditanya mengapa, karena saya pun tidak tahu. Atau mungkin karena dia sudah mengenal sifat saya (ini masih kemungkinan ya) jadi saya tidak perlu repot-repot beradaptasi kembali dengan orang baru, yang memang susah saya lakukan. Tambahan, kedua kakak perempuan saya pun sudah mengenal Bang Dio jadi jika ingin mendaki tinggal menjual namanya saja. Oh iya, indikator teman dekat menurut saya adalah jika saya sudah berani buang angin di depan mereka. Jadi, beruntunglah kalian yang pernah mendengar saya buang angin, baik yang disengaja maupun tidak sengaja 😁 Berarti kalian sudah saya anggap teman dekat saya karena menurut saya buang angin itu membutuhkan tempat yang nyaman.

Tanggal 20 Maret, grup whatsapp KRIS sudah mulai ramai dengan rencana liburan ke Danau Gunung Tujuh (Kerinci, Jambi) pada awal bulan April. Sangat menggoda. Seumur hidup saya pun belum pernah ke Jambi padahal letaknya bersebelahan dengan Sumatera Selatan. Tetapi saya sedang banyak-banyaknya pekerjaan dan diharuskan lembur. Alhamdulillah, saya dipercayakan menjadi salah satu bagian dari Pelaksanaan Diklat/Penyegaran Wasit Daerah dan Kejuaraan Taekwondo yang berlangsung sampai akhir bulan Maret. Bahkan dari tanggal 25 Maret sampai tanggal 1 April saya harus menginap di Mess Pemkab Banyuasin bersama Esa, Kak Darmanto dan Tito. Sebenarnya yang lain juga banyak yang menginap tetapi hanya satu dua malam saja sedangkan kami berempat dari awal sampai akhir selalu stay di sana. Dari Shubuh sudah mulai bangun dan tidur pada dini hari. Sibuk sih, tetapi seru! Pengalaman baru juga untuk saya, saya banyak belajar dari kegiatan ini. Team work yang sangat solid, satu sama lain saling melengkapi. Di sela-sela kesibukan itu, sempat-sempatnya saya mengiyakan tawaran rencana liburan di grup. Dasar kurang ajar!
Paling depan Esa, kak Darmanto, saya dan Tito.
Saya dan Pak Carly saat Diklat Wasit Taekwondo
Saya bersama salah satu peserta Kejuaraan Taekwondo, Dimas Yudistira, yang kebetulan murid saya dulu.
Saya, Esa dan Tito yang tidak jauh-jauh dari laptop selama di Mess Pemkab Banyuasin.
Saya sangat bersemangat sekali untuk liburan kali ini. Bagaimana tidak? Selama semingguan lebih saya hanya berada di dalam Mess Pemkab Banyuasin saja. Makan, minum, mandi, tidur dilakukan di sana semua. Saya tidak ke mana-mana, saya pun tidak pulang-pulang ke rumah. Ada sih saya pulang ke rumah tetapi hanya semalam, itu pun cuma mengembalikan pakaian kotor dan mengambil pakaian bersih saja. Bukannya berlebihan, saya tahu, sebagian dari kalian malah tidak pernah pergi liburan untuk jangka waktu yang lama. Iya, saya tahu, mencari uang memang sesusah itu. Saya beruntung masih bisa merasakan liburan, ada orang yang hari-harinya dicurahkan hanya untuk bekerja.

Saya anak rumahan tetapi saya juga hobi jalan-jalan dan saya juga orang yang mudah bosan. Jadi, saya selalu mencari cara untuk menghibur diri saya sendiri, dari liburan ke tempat yang jauh atau bahkan hanya menonton bioskop sendirian sudah cukup untuk menghilangkan penat saya. Atau bahkan hanya menonton drama Korea, bermain bersama Eson atau keliling daerah sekitar rumah saya dengan papi sudah cukup untuk saya. Apalagi ada kesempatan liburan ke tempat yang belum pernah saya kunjungi seperti ini. Saya bersemangat sekali untuk rencana liburan kali ini tetapi di dalam grup sepi yang mengiyakan karena tanggal cuti yang berbeda-beda, yang positif berangkat hanya saya, Robiah dan Winda saja. Septian sebenarnya ingin ikut tetapi cutinya tidak di-acc. Karena sedikit yang bisa ikut jadi tujuan diubah dari Danau Gunung Tujuh ke Gunung Gede. What? Mendaki gunung lagi? Saya tidak pernah menyangka akan mendaki Gunung Gede sebelumnya, membayangkan saja tidak pernah. Saya pun mulai kebingungan mencari alasan untuk pamit dengan keluarga.

Parahnya, tepat tanggal 1 April baru fix mau ke Gunung Gede dan berangkatnya naik kereta api malam pada tanggal 2 April karena kami kehabisan tiket kereta api pagi.  Kenapa tujuannya diubah ke Gunung Gede? Karena tujuan awal adalah untuk sekedar mengumpulkan anggota grup saja dan mencari destinasi terdekat agar semuanya bisa bergabung tetapi kenyataannya hanya segelintir yang bisa bergabung. Bang Dio adalah orang pertama yang mengusulkan rencana liburan ini dan dari awal sebenarnya dia ingin mendaki Gunung Gede. Saya pun pasti menurut saja, yang penting liburan, sedangkan Robiah dan Winda pun pasti menurut saja karena sayang cutinya sudah diajukan. Setelah fix ke Gunung Gede, saya mulai teringat dengan jembatan gantung di Selabintana, salah satu jalur pendakian menuju Gunung Gede. Jembatan gantung yang pernah ramai dibicarakan dan viral di instagram.  Saya mulai googling ala kadarnya tentang Gunung Gede, sebenarnya sih saya cuma mencari tahu jembatan gantung itu saja bukan yang lain-lainnya. Karena menonton video musik Adu Rayu dari Yovie Widianto, Tulus dan Glenn makanya saya searching tentang jembatan gantung tersebut. Di video tersebut Velove Vexia bertemu dengan Nicholas Saputra di jembatan gantung Tangkahan, indah sekali. Saya pikir jembatan gantung di Selabintana juga tidak jauh beda indahnya, tidak bisa pergi ke Tangkahan setidaknya ada jembatan gantung di Selabintana. Biasalah ya, saya kan terobsesi sekali menjadi seperti Velove Vexia. Iya iya, mimpi saya ketinggian. Saya sadar kok, terima kasih untuk tidak mencaci saya setelah membaca postingan ini, kawan.

Saya pun belum packing sama sekali, belum lagi izin dengan orang tua dan atasan di kantor. Tanggal 1 April saya mulai mencicil membuat laporan kegiatan biar ketika saya pergi nanti tidak ditagih-tagih untuk membuat laporan. Tanggal 1 April pun saya baru pulang ke rumah dengan membawa tumpukan baju kotor selama seminggu. Sesampai di rumah, saya langsung packing ala kadarnya saja dan mulai membuka obrolan dengan orang tua untuk pergi. Saya bilang jika teman-teman mengajak liburan ke Bogor karena semingguan lebih ini sibuk jadi butuh refreshing juga. Kurang ajar sekali saya! Saya tidak berbohong, kan memang saya ke Bogor. Malam itu, kami mulai bagi tugas untuk booking tiket kereta api dan registrasi online pendakian Gunung Gede. Saya yang bertugas untuk registrasi online pendakian, sayangnya malam itu saya tidak berhasil registrasi karena menunggu data dari Bang Arnold, Robiah dan Winda. Oh iya, katanya sih Bang Arnold ingin ikut mendaki juga tetapi dia menunggu di Jakarta karena memang dia kerjanya di sana. Akhirnya malam itu saya tertidur tanpa registrasi, saya tahu Bang Dio menelpon saya ketika tengah malam tetapi saya sengaja tidak mengangkat. Toh, saya belum bisa mendaftar karena belum ada balasan dari Robiah dan Winda. Sebenarnya datanya bisa dimanipulasi sih, kan yang ditanya hanya alamat e-mail dan nomor hape keluarga tetapi saya polos sekali. Saya ingin jujur mengisinya, takutnya ada apa-apa, ini kan mendaki gunung kan ya. Sependek apapun ketinggiannya tetap saja gunung.

Tanggal 2 April, saya masih berangkat ke kantor dengan membawa carrier dan berpakaian ala kadarnya. Hari itu saya masih mencicil membuat laporan dan semuanya selesai tepat pukul 16.00 WIB. Saya langsung meluncur ke Palembang tanpa meminta izin terlebih dahulu dengan atasan saya. Saya pun tiba di Stasiun Kertapati lebih awal, tepat pukul 18.00 WIB dan belum ada siapa-siapa, maksudnya teman-teman saya kalau manusia lain sih banyak. Wajar sih karena keretanya berangkat pukul 21.00 WIB. Sesampai di stasiun, saya mencoba kembali untuk registrasi online tetapi sialnya pendakian untuk tanggal 4 April sudah tidak ada lagi. Apa-apaan ini? Padahal tadi waktu di jalan saya buka kuotanya masih banyak dan sekarang tiba-tiba sudah tidak ada lagi. Saya langsung menghubungi Bang Dio, kata Bang Dio nanti nembak saja daftarnya dan ternyata  Bang Arnold tidak jadi untuk ikut mendaki karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, kami daftarnya langsung di sana dan kemungkinan harganya akan menjadi mahal. Tidak apa-apalah daripada gagal pergi kan ya?

Satu per satu dari mereka mulai berdatangan, dimulai dari Robiah, lalu disusul dengan Winda dan yang paling terakhir datang adalah Bang Dio. Cowok sendiri tetapi datangnya paling telat, seperti cewek saja yang dandannya lama. Seperti biasa, Bang Dio membawa carrier kulkas kesayangannya sedangkan Robiah dan Winda hanya membawa tas kecil biasa tetapi padat. Ternyata Bang Dio datangnya lama karena sempat mengganti carrier terlebih dahulu. Di dalam kereta api, peralatan pribadi mulai dibagikan. Bang Dio membawakan sleeping bag untuk Robiah dan Winda. Tas saya belum diisi apa-apa selain barang pribadi saya dan ditambahkan satu matras lagi oleh Bang Dio, tidak terlalu berat. Kalian tahu tidak jika Bang Dio ini membawa dua sepatu. Entah maksudnya apa, berat-berati tas saja, sekalian saja bawa batu bata. Ya, meskipun dia sendiri yang membawa tasnya tetapi kan ya kasihan saja harus membawa carrier seberat itu. Mana beliau sudah tua kan ya, kasihan saja jika tiba-tiba dia encok di jalan.

Setelah saya menghabiskan gorengan yang dibawa oleh Winda dan Bang Dio juga menghabiskan nasi yang dibawa oleh Winda (memang kurang ajar, yang bawa siapa yang menghabiskan siapa), saya mulai mengambil posisi untuk tidur. Iya, selama perjalanan di kereta api saya habiskan dengan tidur, selain memang sudah malam (waktunya tidur), saya pun ingin membalas dendam karena semingguan ini jam tidur saya kurang. Oh iya, ini adalah pengalaman pertama saya naik kereta api malam menuju Bandar Lampung. Kami memesan kereta api kelas bisnis dengan harga Rp 150.000,- dengan kursi yang tidak jauh berbeda dengan kereta api pagi (ekonomi). Tegang sekali, rasanya pinggang ini mau patah. Yang membedakan hanya posisi kursinya saja, jika kereta pagi kursinya saling berhadapan maka kereta api malam kelas bisnis ini tidak saling berhadapan. Saya duduk dekat jendela bersama Bang Dio dan Robiah duduk berdua bersama Winda.
Di mana pun pokoknya tidur. Jangan heran ada bantal leher, saya memang sengaja membawanya.
Perjalanan ditempuh kurang lebih 9 jam, kami tiba di Stasiun Tanjung Karang kurang lebih pukul 06.00 WIB lewat berapa menit. Kami langsung mencari travel menuju Pelabuhan Bakauheni dengan ongkos Rp 50.000,- dan travelnya adalah mobil APV. Lucunya di sini, ketika kami hendak naik travel ada sepasang kekasih atau mungkin sudah menikah duduk berdua di kursi paling belakang. Ketika kami hendak naik ke mobil, sepasang kekasih ini langsung pindah ke kursi depan. Iya, mereka duduk berdua di kursi depan, kursi di sebelah sopir. Dalam hati saya, "Gila juga travel ini, masa penumpangnya disempil-sempil seperti ini." Bodohnya, kami pun dengan otomatis naik travel itu dengan duduk berempat bersempit-sempitan di kursi paling belakang. Di kursi tengah hanya ada satu penumpang, saya mulai berpikir, "Apakah kami memang diharuskan duduk berempat seperti ini?" Ternyata tidak, ketika travel ini hendak melaju, sang sopir berkata seperti ini kepada kami, "Yakin mau duduk berempat di belakang? Gak ada yang mau pindah ke tengah? Kalo saya sih gak papa kalo kalian memang mau duduk berempat sempit-sempitan seperti itu." Sang sopir berkata seperti itu sambil tersenyum. Kami serentak langsung menjawab, "Gak pak" sambil tertawa juga. Robiah langsung pindah tempat duduk ke tengah. Saya pun heran dengan sepasang kekasih tadi, memang kehendak mereka yang ingin duduk seperti itu, seperti tidak mau lepas lagi, pasang lem sajalah sekalian. Kan kan, saya mulai julid lagi. Hmmm... Manusia ini ada-ada saja sih, dunia luas seperti ini masih saja mau bersempit-sempitan.
Keadaan di dalam travel.
Kami tiba di Pelabuhan Bakauheni sekitar jam setengah 8 pagi, termasuk cepat, soalnya kami melewati jalan tol. Jalan tol ini membantu sekali sih tetapi sayang jaraknya masih terbatas. Tiba di Pelabuhan Bakauheni dan ketika hendak mengambil barang di bagasi mobil, sang sopir meminta uang Rp 5.000,-/orang lagi untuk tambahan ongkos. Asyem, ongkosnya nambah rek. Ya sudahlah, kasih saja meskipun sedikit ngedumel dalam hati. Kami langsung buru-buru memesan tiket kapal menuju Pelabuhan Merak. Ternyata sekarang jika ingin memesan tiket kapal harus memiliki kartu. Tiket kapal untuk 4 orang dewasa dan membeli kartu tersebut kami mengeluarkan uang sebesar Rp 88.000,-. Setelah membeli tiket kapal, kami keluar pelabuhan sebentar untuk mencari sarapan. Ternyata di luar tidak ada yang menjual sarapan, hanya ada pedagang yang menjual pop mie, air mineral dan segala macam makanan dalam kemasan seperti itu. Kami hanya membeli air mineral saja dan terpaksa harus menahan rasa lapar. Kami buru-buru berjalan menuju kapal karena di tiket kapal tidak tertera jam keberangkatan kapal dan pegawainya jika ditanya kapalnya berangkat jam berapa, mereka hanya menjawab seperti ini, "Ya, seberangkatnya mbak, lihat situasi kalo penumpangnya penuh langsung berangkat." Ini ternyata kapalnya semacam 'ngetem' juga, guys. Ketika sudah hampir sampai dengan kapalnya, Bang Dio yang berjalan duluan di antara kami mendekati seorang bapak pedagang pempek. Sepertinya kelaparan, guys. Bang Dio hanya menanyakan harganya saja, belum sempat memesan tetapi si bapak pedagang langsung membungkuskan beberapa pempek ke dalam plastik. Pembelian terpaksa ini mah, apalagi ketika si bapak bilang harga pempeknya Rp 10.000,- dapat tiga. Wedeh, seharga pempek-pempek mahal yang ada di Palembang, coy. Bang Dio pun memesan pempek sebanyak Rp 20.000,- sekalian beramal-lah ya dan kelaparan juga sih.
Receipt pembelian kartu dan tiket, nanti ketika hendak masuk semua tiket diambil oleh petugas.
Sesampai di kapal, kami langsung mencari tempat duduk paling atas, biar terkena angin sepoi-sepoi. Sudah menemukan spot terbaik, mulai deh berbagi jatah pempek mahal tadi. Ini mah jatuhnya bukan pempek tetapi lebih seperti aci yang digoreng. Kalau di Palembang sih, pempek dengan harga Rp 3.000,- sudah termasuk pempek mahal dan yang pasti rasanya enak. Jika dibandingkan kembali, masih enakan pempek-pempek sepeda ataupun pempek-pempek keliling di Palembang yang harganya masih murah dan jauh lebih enak daripada pempek ini. Harus ikhlas biar jadi darah daging makanannya. Orang Palembang kebiasaan sekali julidnya ke mana-mana. Pedagang pempek saja dijulid-in seperti ini.

Kapal berangkat tepat pukul 09.00 WIB, dengan angin sepoi-sepoi seperti ini malah mengundang saya untuk tidur kembali. Terserahlah, saya mengantuk, tidur di kapal juga tidak melanggar aturan. Ternyata bukan hanya saya saja yang tidur, setelah saya tertidur yang lain juga ikutan tidur. Tiba di Pelabuhan Merak sekitar pukul 11.00 WIB, kami memutuskan untuk mencari makan terlebih dahulu di sekitaran pelabuhan dikarenakan kami memang tidak sarapan dan perjalanan kami juga masih jauh. Jatuhlah pilihan kami di salah satu warung makan di pinggiran jalan keluar pelabuhan, kami makan nasi telur dan beberapa lauk ringan lainnya seperti sayur, kikil dan sambal. Seingat saya, harga makanannya sekitar Rp 20.000,-. Lumayanlah, namanya saja makanan di pelabuhan, yang bikin tidak enak rasa telurnya yang sedikit aneh seperti dicampur dengan tepung atau sagu. Adonan telurnya seperti telur di makanan jatah dari kapal KM Doboncoro waktu ke Papua lalu tetapi yang di sini lebih enak sedikit. Untung saja kikilnya enak atau memang karena saya penggemar kikil kali ya.


Saat kami berada di atas kapal.
Kami sempat bertanya dengan pemilik warung di mana biasanya bis menuju Kampung Rambutan mangkal (ngetem) dan jam keberangkatannya. Banyak yang bilang kalau bisnya berangkat di siang hari sekitar jam 1 siang dan sekarang baru pukul 11.00 WIB lewat. Masih lama juga ternyata. Selagi kami berjalan menuju keluar pelabuhan, ada seorang calo yang mendekati bang Dio dan menanyakan tujuan kami. Bang Dio pun menjawab Kampung Rambutan dan segera kami digiring oleh calo tadi ke arah kumpulan bis-bis besar. Carrier dan tas kami langsung dimasukan ke dalam bagasi bis, kami pun menunggu di depan bis sambil nongkrong-nongkrong. Calo tadi sih bilang kalau ongkos ke Kampung Rambutan Rp 35.000,-/orang dengan jarak tempuh kurang lebih 2-3 jam. Kalau tidak salah sebelum jam 1 siang, sekitar jam 12 lewatan bis menuju Kampung Rambutan ini pun berangkat. Bang Dio sudah menghubungi Bang Arnold dan Calok (nama panggilan Efran) untuk ketemuan di Kampung Rambutan. Nyatanya ya, sudah tiga ronde saya tidur di dalam bis tetapi belum sampai-sampai juga. Kami lama tertahan di simpang empat dan saya tidak tahu itu di mana, di sana bis lama sekali berhenti mencari penumpang, ngetem gitu. Kami enak sih di dalam bis ber-AC tetapi apa kabar Bang Arnold dan Calok yang sudah menunggu di Kampung Rambutan? Sudah lama, ongkos kami pun ditambah Rp 5.000,-/orang jadi ongkosnya itu Rp 40.000,-/orang. Kami pun protes karena si calo tadi kan bilang jika ongkosnya hanya Rp 35.000,-/orang, lah ini kok nambah Rp 5.000,-. Dengan suara agak tinggi, si kondektur pun menjawab seperti ini, "Itu kan calo yang bilang bukan saya, calo kan bukan ngurusi ongkos, saya kondekturnya di sini." Kira-kira seperti itulah jawaban kondektur itu, kami pun mengalah. Aaahhh... Iya, demi sepeser uang manusia rela ribut dengan manusia lainnya. What a life!
Saat berada di pool bis Pelabuhan Merak
Tiba di Terminal Kampung Rambutan tepat waktu Ashar tiba, buru-buru masuk dan mencari Bang Arnold dan Calok. Ketemu mereka dan langsung mencari kamar mandi yang kebetulan bersebelahan dengan Musholla, Winda kebelet, saya, Robiah dan Bang Dio mau shalat. Setelah shalat, Bang Arnold dan Calok sudah membeli nasi bungkus, rejeki dah. Makan ala liwetan di bawah gerimis yang tiba-tiba turun, syahdu syekaliii... Buru-buru nasi tersebut kami habiskan, selain gerimis, kami juga ternyata sudah lapar kembali. Chit chat ala kadarnya dengan Bang Arnold dan Calok, mengingat hari sudah hampir petang. Bang Dio dan Bang Arnold pun mencari bis jurusan Bogor. Setelah ketemu bisnya, kami pun berpamitan dengan Bang Arnold dan Calok untuk melanjutkan perjalanan kembali. Sebentar sekali sih ketemu mereka tetapi mau bagaimana, mengejar waktu sih. Saya lupa ongkos bis ini berapa, sepertinya sekitar Rp 12.000,-/orang atau Rp 15.000,-/orang. Keluar dari Terminal Kampung Rambutan bis ini masih sepi dengan penumpang tetapi berjalan menuju keluar terminal satu per satu penumpang mulai naik. Apalagi saat itu sedang hujan deras-derasnya. Saya duduk sendirian, Bang Dio pun duduk sendirian, Winda dan Robiah duduk berdua. Awalnya sih saya duduk bertiga dengan Winda dan Robiah karena melihat banyak kursi yang kosong, saya pun memutuskan untuk duduk sendirian. Eh, taunya di jalan banyak juga penumpang yang naik. Seperti biasa sih, saya kebanyakan tidur di bis sampai ada bapak-bapak yang duduk di sebelah saya pun saya tidak sadar.

Setelah hampir tiba di Bogor, satu per satu penumpang pun mulai turun dan bapak di sebelah saya ini pun pindah tempat duduk ke depan kursi di mana Bang Dio duduk. Saya bau atau apa ya sampai beliau pindah tempat duduk begitu atau mungkin tidak enak saja duduk dengan perempuan kali ya. Bis mulai memasuki Terminal Bogor dan saya kebingungan, yakin nih kita tidak turun di sini? Saya mulai melirik ke arah Bang Dio, sepertinya Bang Dio mengerti maksud saya. Bang Dio mulai membuka pembicaraan dengan bapak yang duduk di sebelah saya tadi dan menanyakan rute jika ingin ke Cibodas. Si bapak pun menjawab dan beliau sempat kaget juga jika saya satu rombongan dengan Bang Dio, si bapak mengira saya pergi sendirian karena kerjaan saya di dalam bis cuma tidur dan diam saja. Iya kali, semua orang mau diajak ngobrol, tidak semua orang senang diajak mengobrol di dalam bis apalagi baru kenal, ya termasuk saya ini. Saya pun cuma bisa cengar cengir saja. Cerita si bapak panjang dah sampai ke cerita temannya yang orang Palembang. Katanya, orang Palembang nekat-nekat sampai mau merantau ke mana saja demi mencari uang. Ya, namanya juga mengadu nasib pak, ke mana pun kaki melangkah pasti dijabani.

Akhirnya si bapak menyuruh kami turun bersama beliau di Cisarua (kalau tidak salah) dan nanti menyambung bis kembali ke arah Cibodas. Untung tidak nyasar, mana sudah malam lagi. Tiba di Cisarua, sepertinya sih di daerah pasar karena ramai sekali dan banyak pedagang-pedagang yang menjual makanan di pinggiran jalan. Kami pun mengikuti si bapak sampai agak jauh dari rombongan angkot dan preman atau calo di sekitaran tempat kami turun tersebut. Si bapak langsung menyuruh kami naik bis yang dia pilih sambil bilang ke kondekturnya tujuan kami dan dengan tambahan kalimat, "Ini keponakan-keponakan saya" Terima kasih banyak bapak sudah menganggap kami keluarga. Berpamitanlah kami dengan beliau dan langsung naik bis, tas-tas kami tidak dimasukan ke dalam bagasi, mungkin jaraknya dekat kali ya. Seperti biasa, Winda duduk dengan Robiah, Bang Dio duduk dengan carrier-nya, saya duduk dengan carrier saya dan tasnya Winda dan Robiah. Ketika kami sudah duduk di dalam bis, tidak lantas bis langsung berangkat, kami harus menunggu kembali. Di sela-sela menunggu di dalam bis, si bapak tadi naik ke bis dan menjumpai kami kembali. Hanya sekedar mengingatkan tempat turun kami nanti dan jika kondekturnya bilang Cibodas kami disuruh untuk bersiap-siap turun. Si bapak terbaik sih, sumpah! Semoga rejekimu lancar dan selalu sehat pak. Aamiin aamiin ya rabbal alamin.

Cuma beberapa menit saja mata saya terbuka, menit selanjutnya saya pun mulai tertidur kembali, sepertinya yang lain juga ikutan tidur. Memang sesusah itu menahan rasa kantuk di dalam bis. Papi saya pun sering sekali menelpon saya jika saya sedang dalam perjalanan dan naik kendaraan umum, sekedar mengingatkan "jangan tidur, nanti kelewatan" Akhirnya kami pun turun di simpang tiga Cibodas, tepat di depan Alfamart. Dalam kondisi yang baru bangun tidur beberapa menit sebelum turun bis, kami masih kebingungan mau melangkah ke mana. Melihat alfamart di dekat kami, kami memutuskan untuk membeli logistik terlebih dahulu karena memang kami belum membeli logistik sama sekali, gas pun belum kami beli. Bang Dio dan Robiah masuk ke Alfamart untuk berbelanja sedangkan saya dan Winda menunggu di luar menunggu tas. Baru duduk beberapa menit, Winda sudah ke sana-sini bertanya akses menuju camp pendakian. Kata penduduk di sekitar sana, biasanya ada angkot warna kuning yang menuju ke sana. Ongkosnya sebesar Rp 7.000,- tetapi tidak tahu jika malam seperti ini, angkotnya masih lewat atau tidak. Jika tidak ada angkot, kami disarankan untuk naik ojek ke atas sana dengan ongkos sebesar Rp 20.000,-/motor.

Selama Bang Dio dan Robiah berbelanja, kami tidak melihat satu pun angkot berwarna kuning menuju ke atas sana. Setelah logistik dimasukan ke dalam tas, sebenarnya sih packing logistik belum selesai tetapi kami melihat ada satu angkot menuju ke atas sana. Kami buru-buru berteriak memanggil angkot tersebut untuk menunggu kami, angkotnya pun berhenti dan logistik tadi asal masuk saja ke dalam tas. Ketika hendak menyebrang jalan, sialnya angkot tersebut malah berjalan tanpa menunggu kami naik terlebih dahulu. Sialan! Kenapa harus berhenti jika tidak mau mengajak kami? Karena sudah terlanjur menyebrang jalan dan dekat dengan pangkalan ojek, kami memutuskan untuk naik ojek saja. Mengingat waktu juga sudah hampir pukul 21.00 WIB dan tanda-tanda keberadaan angkot  pun tidak ada. Tetapi di pangkalan ojek ini hanya  ada tiga ojek saja sedangkan kami berempat. Si bapak-bapak ojek menyarankan harus ada satu motor yang mengangkut dua penumpang sekaligus alias boti (bonceng tiga). Ya, Robiah dan Winda dengan sukarela untuk boti, barang-barang yang dibawa oleh mereka, kami coba bawa ala kadarnya. Oh iya, motor yang dipakai bapak-bapak ini untuk meng-ojek adalah dua motor RX-King dan satu motor bebek biasa. Bang Dio yang mendapatkan ojek motor bebek, saya dan Robiah serta Winda menaiki ojek motor RX-King. Seru sekali, malam-malam menaiki motor RX-King membelah angin malam Cibodas yang lumayan dingin juga. Jangan ditanya lagi kecepatan ojek ini, rasa-rasanya saja saya seperti ingin terjatuh, tangan saya tidak lepas sedetik pun dari pegangan besi di belakang motor.

Bang Dio berada paling depan dan menjadi penunjuk jalan bagi ojek-ojek lainnya, kami berhenti di depan basecamp Mang Idi yang berada di lokasi yang sepertinya pasar atau terminal. Saya tidak tahu Bang Dio mendapat rekomendasi basecamp Mang Idi ini dari mana. Sebenarnya banyak sekali basecamp lain yang berada di sini, yang menurut saya sih bahkan lebih bagus daripada basecamp Mang Idi ini. Tenang, saya tidak protes kok selagi masih bisa tidur dan mandi, semua basecamp akan tampak oke di mata saya. Ketika kami masuk, sudah ada beberapa pendaki lainnya yang memenuhi basecamp tersebut dan mereka sudah turun dari Gunung Gede. Mereka sedang bersiap untuk pulang, saya kurang tahu mereka berasal dari mana tetapi mereka membawa motor sendiri ke sini. Memang ya, enakan bawa kendaraan sendiri kalau mau ke mana-mana, tidak terpatok dengan waktu kendaraan umum yang tidak pasti. Pantas saja jalanan tambah macet, volume kendaraan bertambah sih. Coba semuanya naik kendaraan umum, pasti jalan raya akan sangat lengang. Selain mind set seperti itu, pajak kendaraan pun murah dan sekarang mau beli motor atau mobil pun sangat mudah. Ya sudahlah, biarkan manusia-manusia tamak itu.

Setelah rombongan pendaki tadi pulang, hanya kami yang tersisa di basecamp ini. Ternyata di Alfamart tadi tidak semua kebutuhan logistik kami ada. Jadi, saya, Robiah dan Winda memutuskan untuk keliling pasar ini mencari sayuran, bumbu dapur dan beras sedangkan Bang Dio mencari relasi, relasi apa sajalah. Dikarenakan sudah malam, banyak warung yang sudah tutup dan kebanyakan warung ini menjual makanan yang sudah jadi bukan warung sembako ataupun warung sayuran. Kami pun kembali lagi ke basecamp Mang Idi dan bertanya kepada Kang Iki kira-kira di mana kami bisa mendapatkan sayuran dan beras tetepi Kang Iki pun bilang jika di sini tidak ada yang jualan sayuran malam-malam. Oh iya, Kang Iki ini adalah relasi hasil pencarian Bang Dio. Sebelumnya kami membayar uang Rp 100.000,-/orang ke Kang Iki untuk biaya administrasi mendaki. Iya, pendakiannya nembak dengan Kang Iki. Mahal? Sangat!

Mata saya tertuju pada beberapa bongkah sayur kol yang terpajang di etalase warung yang berada di dekat basecamp Mang Idi ini, sepertinya warung ini menjual gado-gado. Saya mencoba masuk ke warung tersebut dan bernegosiasi untuk membeli sayur kolnya saja. Alhamdulillah, si ibu pemilik warung memperbolehkan kami untuk membeli sayurannya saja dan ternyata si ibu pun mau melayani kami membeli beras mereka dan beberapa bumbu dapurnya. Rejeki sih! Semua logistik kami dapatkan di warung sebelah basecamp setelah berkeliling pasar dengan tangan kosong, termasuk sepotong dada ayam rebus pun kami dapatkan di warung ini. Entahlah, Robiah dan Winda mau masak apa nanti.

Perjanjian dengan Kang Iki, kami harus mulai mendaki pukul 04.00 WIB. "Jadi, jangan terkejut jika pukul 03.30 WIB nanti saya bangunkan ya." begitu ujar Kang Iki sebelum berpisah dengan kami malam itu. Ya, seperti inilah jika mendaki dengan orang lain. Ketika mendaki Rakata (anak Krakatau) dan Gunung Bromo dulu pun saya harus bangun pukul 02.00 WIB dini hari dan ketika mendaki Kawah Ijen pun saya harus bangun pukul 00.00 WIB dengan menempuh perjalanan mobil lagi selama 2 jam. Semua itu dilakukan demi dua kata, yaitu "sunrise". Sebenarnya saya bodoh amat dengan sunrise ataupun sunset tetapi karena perginya dengan orang lain, ya menurut saja. Nah, kalau pendakian Gunung Gede ini bukan karena mengejar sunrise tetapi karena biar tidak ketahuan dengan petugas. Namanya saja 'nembak', masa frontal sekali pendakiannya.

Pukul 03.30 WIB, saya terbangun dan melihat Winda pun sudah bangun. Ternyata Kang Iki yang membangunkan Winda. Semua barang sudah kami packing, barang-barang yang tidak dibawa pun sudah kami titipkan di basecamp ini tadi malam. Kami pun sudah berpakaian lengkap untuk mendaki, tinggal memakai sepatu saja dan sudah bisa langsung mendaki. Saking malasnya untuk packing ulang, kami pun tidur semalam tanpa SB. Ternyata dingin juga, guys. Kami pun bergegas keluar dan menemui Kang Iki. Kang Iki mengiring perjalanan kami dengan menggunakan motor, kami ditunjukan arah oleh beliau dari atas motornya itu. Sepanjang perjalanan menuju pintu pendakian, ternyata banyak sekali basecamp bertebaran di pasar ini. Saya jadi teringat trek menuju bukit tempat menikmati sunrise yang berlatarkan Gunung Bromo dulu. Seperti ini, banyak basecamp yang bertaburan ataupun hanya toilet umum. Banyak juga warung yang menjual tanaman hias yang tutup tetapi bunga-bunganya masih bisa dilihat oleh orang-orang bahkan sepertinya jika diambil pun tidak akan ketahuan.

Karena masih gelap dan hanya bercahayakan bulan dan lampu-lampu warung ataupun perumahan, saya tidak terlalu ingat jalannya. Yang saya ingat, setelah keluar dari basecamp Mang Idi kami belok ke kanan dan kami hanya berjalan lurus saja dari basecamp Mang Idi ini. Ketika ada tanjakan dan simpang tiga kami belok ke kanan dan menempuh jalan lurus lagi sampai tiba di bebatuan yang ada tulisan selamat datangnya (jika tidak salah). Lalu, kami mengambil jalan bertangga di sebelah batu tersebut dan lurus saja sampai ada beberapa bangunan yang sepertinya sih menjadi pos pengamatan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ini. Kang Iki hanya mengantar kami sampai di bebatuan selamat datang tadi, selebihnya ya kami berjalan sendiri dan hanya mengandalkan peta yang sudah kami unduh dari website Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Kalian bisa mengunduh petanya di sini, tinggal pilih peta pendakian lalu unduh.
Selfie di Tarentong
Kami tiba di Tarentong sebelum adzan Shubuh berkumandang. Kami memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu di sana sambil menunggu adzan. Malah, kami selesai sarapan sebelum adzan Shubuh berkumandang. Setelah shalat, ada-ada saja obrolan yang menahan kami sedikit lama di sana, hitung-hitung menunggu keadaan sedikit terang. Berjalan kembali, entah berapa menit kami tiba di Telaga Biru (Blue Lake). Ketika tiba di sini, matahari benar-benar telah terbit. Saya memakai jam tetapi herannya saya selalu lupa untuk mencatat berapa menit perjalanan kami. Namanya saja telaga, jadi di sini ada telaga, kami harus menyebrangi aliran sungai kecil terlebih dahulu untuk mendekati Telaga Biru ini. Aliran sungainya sangat jernih sekali sedangkan air telaganya berwarna biru kehijauan. Pantas saja disebut Telaga Biru. Di sini kami mengisi air minum, setiap dari kami membawa tumbler masing-masing dan beberapa botol air kemasan yang besar. Mata kami sangat dimanjakan dengan pemandangan di Telaga Biru ini, udaranya sejuk, mendengar kicauan burung-burung, sayang sekali jika tidak diabadikan dengan kamera. Ketika kami menikmati Telaga Biru ini, ada satu rombongan pendaki lain yang tiba. Mereka berjalan cepat sekali sudah bisa menyusul kami padahal tadi ketika berangkat tidak ada pendaki lain di belakang kami. Rombongan pendaki ini pun sudah berlalu tetapi kami masih saja asyik di sini. Sampai akhirnya ada dua orang pendaki lagi yang tiba di Telaga Biru ini. Akhirnya, kami melanjutkan kembali perjalanan setelah puas berfoto.

Selfie dengan background Telaga Biru
Selfie di depan pos yang ada di Telaga Biru


Terlihat aliran sungai kecil yang membatasi jalur dengan Telaga Biru
Sok profesional sekali Bang Dio ini jika memoto orang
Masih di Telaga Biru
Berjalan kembali sampai ke Jembatan Rawa Gayonggong. Wah, baru hendak memasuki jembatannya saja, view-nya sudah bagus sekali. Seperti biasalah, kami berfoto kembali. Apalagi saya, beberapa foto saya yang diambil oleh Bang Dio kurang bagus. Angle-nya tidak pas jadi terpaksa mereka harus berulang kali memoto saya. Sebenarnya sih hanya Bang Dio saja yang memotonya tidak bagus, Robiah dan Winda bagus-bagus saja ketika mengambil foto saya. Ketika hasil fotonya dikritik, Bang Dio menjawab seperti ini, "Abang gak biasa moto pake kamera hape, biasanya kan pake kamera beneran." Songong sekali, saudara! Kalau photographer handal sih mau pakai kamera jenis apa saja pasti hasilnya tetap bagus. Dasar pria sejuta alasan! Jembatan Rawa Gayonggong ini cukup panjang, di kanan kirinya terdapat tanaman seperti ubi talas (jika tidak salah) yang cukup rimbun. Ada beberapa bagian dari jembatan ini yang jebol jadi kita harus berhati-hati ketika berjalan, takutnya nanti kaki kita terperosok. Ketika berada di pertengahan jembatan, kami bertemu kembali dengan rombongan pendaki tadi. Mereka sedang beristirahat di jembatan ini. Kami tetap melanjutkan perjalanan karena kami sudah terlalu sering berhenti. Di ujung jembatan pun kami berhenti kembali sejenak dikarenakan ingin menikmati aliran sungai kecil di samping Jembatan Rawa Gayonggong ini.
Hasil jepretan Bang Dio di awal Jembatan Rawa Gayonggong
Hasil jepretan Robiah di tempat yang sama
Jalan yang tadinya didominasi dengan dataran, sekarang perlahan sudah mulai menanjak sedikit demi sedikit. Trek di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ini sudah tertata rapih jadi kita tidak perlu khawatir akan tersesat di sini. Semua petunjuk juga sudah cukup jelas dan sesuai dengan peta yang diunduh di website Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ini. Selama perjalanan ini, ketika lelah sedikit Robiah menyemangati dirinya sendiri demi sate kelinci. Dia mengajak kami untuk mencari sate kelinci ketika sudah turun nanti. Saya tidak tahu, dia melihat jualan sate kelinci di mana, mungkin ketika kami turun dari bis di Pasar Cisarua kemarin. Ketika tiba di intersection menuju Air Terjun Cibeureum kami istirahat kembali. Di sini ada dua bapak-bapak pedagang yang melewati kami ketika berfoto di Jembatan Rawa Gayonggong tadi. Bapak-bapak ini berjualan di sini. Mereka membawa barang dagangan masing-masing satu karung. Sepagi ini mereka sudah mencari nafkah di gunung, entah berapa penghasilannya per hari tetapi bapak-bapak ini terlihat bersemangat sekali berjualan. Kami saja yang masih muda dan bawaan tidak terlalu banyak sudah lumayan kelelahan sedangkan mereka setiap hari seperti ini. Masih mau mengeluh? Pikir lagi coba!
Ini di pos intersection menuju air terjun Cibereum, di mana kami bertemu dengan bapak-bapak yang siap berjualan
Perjalanan dilanjutkan kembali, kami hanya sekali istirahat lama antara Pos Rawa Denok atau Pos Batu Kukus, sepertinya sih di Pos Batu Kukus tetapi saya lupa Pos yang berapa. Kami membuat kopi dan susu terlebih dahulu untuk menghilangkan rasa lelah dan menambah energi. Setelah itu, kami tidak berhenti lagi untuk jangka waktu yang lama di pos-pos berikutnya. Mengingat sudah banyak waktu yang kami habiskan sepanjang trek hanya untuk berfoto ataupun hanya sekedar bersantai-santai. Kami hanya istirahat sekitar 5-10 menit saja ketika merasa kelelahan. Kami sudah jauh tertinggal dengan rombongan pendaki tadi. Kami pun beberapa kali disalip oleh pendaki-pendaki lain. Iya, kami berjalan selama itu. Akhirnya, kami pun sudah mendekati Sungai Air Panas (Hot Spring). Kata Bang Dio, kami akan istirahat di Kandang Batu (setelah Sungai Air Panas) karena hari juga sudah siang. Energi kami pun sudah lumayan terkuras. Meskipun masih ada trek yang datar tetapi beberapa tanjakan sudah mulai menguras tenaga kami.

Akhirnya kami tiba di Sungai Air Panas. Saya kira, sungai air panas ini berada di samping trek pendakian. Ternyata kami harus berjalan menembus Sungai Air Panas yang sedang mengalir. Kami harus ekstra hati-hati melewati satu per satu bebatuan yang berada di aliran Sungai Air Panas ini. Lengah sedikit, bisa-bisa kita terjatuh di aliran Sungai Air Panas atau lebih parah lagi terjatuh ke jurang yang mengalirkan aliran Sungai Air Panas ini. Ya, seperti namanya, air sungai ini benar-benar panas, guys. Kacamata saya dan Winda sampai beruap ketika melewati aliran sungai ini. Saya dan Winda pun terpaksa harus melepaskan kacamata karena sudah tidak bisa melihat apa-apa lagi akibat kacamata kami tertutup oleh uap air panas ini. Karena tidak memakai kacamata, saya jadi lambat berjalan di aliran Sungai Air Panas ini. Maklumlah, mata saya minus empat jadi jika kacamata dilepas penglihatan saya akan menjadi samar-samar. Saya berjalan dengan sangat hati-hati, takut terjatuh. Karena berjalan lambat saya merasa kepanasan akibat uap air panas ini. Saya sampai berkeringat, seperti berada di sauna saja. Saya takjub sekali dengan Sungai Air Panas ini. Tetapi kami sempat-sempatnya berfoto di aliran Sungai Air Panas ini padahal keringat sudah bercucuran.
Disuruh Winda sok candid di Hot Spring
Kalau ini gaya andalan, masih di Hot Spring
Setelah melewati Sungai Air Panas, kami tiba di Kandang Batu. Di Pos Kandang Batu ini ada rombongan pendaki yang sedang istirahat. Rombongan ini hendak turun. Kami pun ikut istirahat di sini. Jam makan siang sebentar lagi tiba tetapi kami memutuskan untuk makan cemilan saja dan minum susu atau kopi karena Kandang Badak sudah dekat dan Pos Kandang Batu ini juga sempit. Pos Kandang Batu ini berada di tanjakan bukan di tanah yang datar. Menurut saya, udara di Kandang Batu ini dingin sekali. Saya sampai menggigil atau mungkin ini karena badan saya yang berkeringat tadi langsung bertemu dengan udara dingin. Saking dinginnya, gelas yang berisikan susu panas pun tidak terasa panas ketika saya pegang tetapi ketika masuk mulut lidah saya malah kebakar. Nasib nasib... Tidak lama dari rombongan pendaki tadi pamit untuk turun, kami pun melanjutkan perjalanan kembali menuju Kandang Badak. Badan saya tiba-tiba merasa tidak enak dan lemas. Entah kenapa, mungkin saja kelelahan, kelaparan ataupun kedinginan. Dari Pos Kandang Batu ini saya tukaran tas dengan Robiah. Robiah membawa carrier saya sedangkan saya membawa tas Robiah. Mungkin saya seperti kura-kura ninja membawa tas Robiah ini karena tas ini kecil tetapi padat sekali, mirip seperti cangkang kura-kura.
Di belakang Winda dan Bang Dio ini adalah Pos Kandang Batu, tinggal naik (maafkan pose duduk saya)
Tiba di Kandang Badak sekitar pukul 12.45 WIB, kami langsung mencari spot enak untuk memasak. Kandang Badak ini cukup luas dan pada saat itu sudah ada beberapa tenda yang berdiri di sana, mungkin sekitar 6-10 tenda di sana, saya lupa. Udara di Kandang Badak tidak jauh berbeda dengan udara di Kandang Batu atau Shelter II Gunung Dempo, sama-sama dingin mencekam. Dinginnya menusuk sampai ke kulit. Di saat Winda, Robiah dan Bang Dio memasak, saya malah tidur di atas matras, bersebelahan dengan mereka yang sedang memasak dan kompor. Lumayan menjadi penghangat badan. Iya, saya tidak tahu diri. Namanya juga pelor (nempel molor), ditambah lagi badan saya meriang dingin, sepertinya sih saya halangan. Ketika enak-enaknya tidur, tiba-tiba gerimis turun. Tuhan tahu sekali untuk menghukum umat-Nya yang tidak tahu diri seperti saya ini. Saya terpaksa bangun dan membantu angkat-angkat barang ke flysheet yang sudah dipasang oleh Bang Dio. Sudah dingin ditambah gerimis lagi, lengkap sudah! Menu makan siang hari ini adalah kol goreng, abon, nugget dan sambal orek buatan ibunya Bang Dio. Sedap sih tetapi nasi yang kami masak terlalu benyek hampir seperti bubur. Bang Dio yang terkenal sebagai pemakan segala pun tidak mau memakan nasi benyek ini. Kalau saya sih, nasi sepertinya ini masih bisa masuk ke mulut saya. Yang tidak masuk ke mulut saya hanya makanan pedas dan ikan saja. Eh, ada satu lagi yaitu makanan yang tidak enak.
Ini saat kami di Kandang Badak, sebelum gerimis turun. Winda sedang mengganggu saya tidur.
Bang Dio makannya sedikit sekali. Alhamdulillah-nya, om-om di tenda sebelah kami memberi kami sepanci kecil sop bakso dan sosis. Lumayan buat tambahan makanan untuk Bang Dio. Secara ya Bang Dio kan membawa carrier kulkas jadi kami harus memastikan beliau makan kenyang dan enak, biar beliau kuat membawa carrier sampai turun nanti. Terlihat kejam ya? Tetapi mau bagaimana lagi, jika memaksakan saya, Robiah atau Winda yang membawa carrier kulkas tersebut, bisa sangat dipastikan pendakian tidak akan berjalan karena tidak ada satu pun di antara kami yang sanggup membawanya. Masa iya kan kami bertiga menarik carrier-nya selama perjalanan. Bukannya Bang Dio yang lahap memakan sop ini tetapi kelihatannya malah Robiah yang bersemangat sekali menghabiskan sop ini. Kami sudah semaksimal mungkin untuk menghabiskan sop ini tetapi karena memang sopnya banyak jadi sop ini tidak bisa kami habiskan. Untungnya, ada pendaki lain yang meminta lauk ke kami. Kami pun memberikan semua sop kami ke mereka, daripada mubazir kan ya.

Setelah makan siang, kami berbagi tugas untuk beres-beres. Ketika Bang Dio bertanya siapa yang mau cuci piring, dengan cepat saya menjawab Robiah dan Winda saja. Sifat tidak tahu diri saya mulai kambuh lagi. Saya tidak mau bersentuhan dengan air, bisa-bisa saya menggigil kedinginan. Ini saja, kedinginan saya belum hilang-hilang dari tadi. Jika dipaksakan untuk mencuci piring, bisa-bisa nanti mereka bertiga yang repot mengurusi saya yang kedinginan. Egois ya? Hmmm... Sepertinya sih iya! Bang Dio bertugas mengambil air sedangkan saya bertugas untuk beres-beres di bawah flysheet dan packing ulang beberapa barang. Gerimis pun tak kunjung reda. Jika menunggu gerimis reda, kemungkinan kami akan kemalaman di jalur. Pendakian malam tidak akan pernah efektif, selain pencahayaan yang kurang, badan pun sudah kelelahan dan malam hari adalah waktunya untuk badan kita beristirahat. Ketika semuanya sudah beres, kami melanjutkan perjalanan kembali pada pukul 15.00 WIB dengan kondisi gerimis yang masih turun. Untungnya, gerimisnya ini butiran-butiran airnya kecil. Aelah tong, namanya juga gerimis. 

Dirasa badan cukup enakan, saya pun kembali membawa carrier saya. Setelah Kandang Badak, jalur pendakian mulai tidak santai. Saya lupa sudah berjalan berapa menit, kami tiba di intersection menuju Puncak Pangrango. Kalau menurut peta sih perjalanan menuju Puncak Pangrango sekitar 3 jam-an lagi. Dari awal kami sudah berniat tidak ke Puncak Pangrango, dengan alasan mengejar waktu dan memperhitungkan rasa lelah yang kami dapat nanti. Kami pun terus berjalan, kali ini saya berjalan paling belakang. Biasanya setiap mendaki saya akan mengambil posisi paling depan karena saya memang lambat jika berjalan. Tetapi kali ini saya mengambil posisi paling belakang, saya merasa sangat kelelahan sekali. Apalagi kemungkinan saya sedang menstruasi saat itu.

Beberapa kali teman-teman saya terpaksa harus menunggu saya yang berjalan sangat lambat. Saya merasa cukup terbebani sih tetapi mau bagaimana lagi, jika saya memaksakan berlagak sok kuat kemungkinan pendakian akan berjalan tambah lambat. Mungkin saja saya pingsan atau mungkin juga saya sudah tak sanggup lagi berjalan. Saya pun selalu memaksakan untuk rest meskipun hanya 2-3 menit saja. Pada akhirnya ada kalanya kami istirahat lumayan lama, saya lupa di mana, yang pastinya kami berhenti karena kelaparan semua. Karena sudah makan siang, jadi kami hanya memakan cemilan saja, seperti pilus, madu dan pastinya minum.

Entahlah ya, padahal porsi makan kami tadi lumayan banyak tetapi kenapa kami semua seperti tidak makan siang saja? Cemilan tersebut lumayan untuk mengganjal perut kami sebentar sampai nanti kami tiba di puncak. Robiah dan Winda sudah berjalan paling depan, saya di belakang mereka sedangkan bang Dio berjalan melambat. Saya curiga, pasti ada apa-apa sampai dia mau berjalan di belakang dan jalannya lambat sekali. Karena sama-sama capek, saya tidak menanyakan keadaan bang Dio, saya hanya berjalan saja dengan pelan. Sampai akhirnya saya lupa untuk menoleh ke belakang, bang Dio sudah tidak ada dalam pandangan saya lagi, begitu pun dengan Robiah dan Winda. Seperti biasa, saya teriak semampu saya, memastikan ada balasan dari mereka. Pernah dengar larangan untuk tidak memanggil nama orang di gunung? Itu tidak berlaku dengan saya karena saya tidak bisa membuat teriakan khas seperti para pendaki lainnya, seperti woo, eo, dan lain sebagainya itu. Jadi, saya hanya bisa memanggil nama. Nyatanya tidak ada yang menyahut, apa mereka selelah itu sampai tidak menyahut panggilan saya? Bukannya berhenti tetapi saya malah tetap melanjutkan perjalanan.

Saya berjalan dalam kebimbangan, antara mau berhenti menunggu Bang Dio atau tetap lanjut berjalan menyusul Robiah dan Winda. Saya tidak berpikir akan tersesat atau apa karena trek pendakian Gunung Gede ini cukup jelas dan bagus. Sampai akhirnya ada rombongan pendaki lain yang turun, bertegur sapa ala kadarnya dan rombongan pendaki ini tidak menanyakan apakah saya mendaki sendirian atau dengan rombongan. Dalam pikiran saya, pasti mereka di depan sudah bertemu dengan Robiah dan Winda. Berarti kemungkinan Robiah dan Winda tidak berada jauh di depan saya. Rombongan pendaki tersebut berlalu dan tiba-tiba rombongan pendaki tadi menegur seseorang di belakang saya, sekitar jarak 10 meter di belakang saya. Alhamdulillah, Bang Dio sudah menongolkan batang hidungnya. Dengan cepat Bang Dio sudah menyusul langkah kaki saya dan kembali lagi saya berada di barisan paling belakang. Biasa, selowww mamen... Prinsip pendakian saya, jangan ada keterpaksaan ketika mendaki. Maksudnya di sini, saya tidak akan memaksakan untuk berjalan lagi jika saya tidak sanggup berjalan. Begitupun sebaliknya, jika teman-teman yang lain juga tidak sanggup berjalan lagi maka saya tidak akan memaksakan mereka untuk tetap berjalan. Saya mendaki dalam keadaan sehat, saya pun ingin kembali pulang ke rumah dalam keadaan sehat.

Cerita selanjutnya klik di sini.

No comments:

Post a Comment