Mau Cari Apa?

Friday 4 October 2019

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 4 April 2019 #2

Di pendakian inilah saya sedikit kesal dengan Bang Dio, karena dia selalu nge-push saya untuk berjalan sedikit cepat. Saya sudah merasa tidak enak badan ketika melewati hot spring tadi, mungkin karena perubahan suhu yang terlalu mendadak. Setelah melewati hot spring yang hangat, suhu semakin dingin. Saya tahu, hari sudah semakin sore dan kami harus mengejar sampai di puncak sebelum maghrib tiba dan bisa membuka tenda di Alun-alun Surya Kencana. Rencana hanya sekedar rencana, ketika sampai di tanjakan setan pun waktu sudah sore dan sedikit gerimis. Melihat tanjakan setan yang cukup terjal tersebut, kami turun kembali dan mengambil jalur lain. Untuk apa membahayakan diri sendiri kalau ada jalan yang lebih mudah untuk dilewati. Manusia memang terkadang rumit dan nge-sok. Saya sih setuju dengan jokes khas Palembang, "kalo wong laen pacak ngapo nak kito nian?" (Kalau orang lain bisa kenapa harus kita?) Cukuplah pendaki lain saja yang melewati tanjakan setan itu, kami mencari aman saja.
Jalur untuk menghindari tanjakan setan didominasi dengan jalur seperti ini.
Saya yang selalu berada di belakang.
Sampai pada akhirnya setelah mendengar ocehan-ocehan Bang Dio yang mengesalkan, gundukan puncak sudah mulai terlihat. Saya mempersilahkan Robiah, Winda dan Bang Dio untuk berjalan duluan, biar saya menyusul kemudian. Tenaga saya sudah habis terkuras, entahlah, rasanya memang saya lelah sekali dalam pendakian ini. Kaki ini terasa berat sekali untuk dilangkahkan. Padahal menurut saya masih berat jalur pendakian Gunung Dempo daripada Gunung Gede ini. Setiap ada bebatuan atau pohon yang tumbang pun saya memilih untuk duduk sebentar. Langit semakin sore, saya belum sampai ke puncak, saya masih berada di hutan pinggiran puncak. Hampir salah mengambil jalan yang terlalu kiri, akhirnya Bang Dio turun kembali menyusul saya, mungkin karena saya berjalan terlalu lama. Toh, perjalanan itu kan harus dinikmati ya. Ngeles saja terus seperti bajaj. Saya berjalan diiringi dengan Bang Dio yang berada di belakang saya dan dia tetap mau di belakang saya ketika saya menyuruhnya berjalan duluan. Saya tahu sekali trik Bang Dio ini, dia membuat saya agar cepat berjalan karena jika saya di belakang sendirian, saya akan sangat menikmati perjalanan dan memperlambat waktu.
Duduk dengan berbagai pose dan saya lupa ini di pos mana saja



Saya dan Bang Dio melewati warung kecil yang tutup, setelah melewati warung tersebut barulah saya dapat melihat kawah Gunung Gede. Ternyata kami sudah berada di pinggiran kawah. Robiah dan Winda masih terlihat berjalan di depan kami. Kami harus berjalan beberapa puluh menit lagi baru bisa sampai ke puncak Gunung Gede yang berada di ujung pandangan kami, masih terlihat sangat jauh. Kaki semakin lelah dan berat, hari semakin gelap, dan cuaca pun sudah tidak mendukung. Angin kencang sempat beberapa kali melewati kami. Bahkan petir pun beberapa kali terdengar sangat dekat di pinggiran kawah Gunung Gede ini. Gerimis perlahan mulai turun. Keadaan sudah tidak kondusif, apalagi yang mengkhawatirkan ini adalah petir. Beberapa kali kami mendengar dan melihat petir menyambar tidak jauh dari tempat kami berdiri. Bayangkan saja, kami berada pada ketinggian ini dan di tempat terbuka. Rasanya masuk akal jika kami takut tersambar petir, terlebih Robiah dan Winda yang terlihat sangat ketakutan dengan petir. Bang Dio menyarankan kami untuk berjalan sedikit mepet di pinggiran batu ataupun pohon-pohon kecil yang ada.

Sebenarnya saya ingin tertawa melihat tingkah Robiah dan Winda yang berada di depan saya ini. Mereka menghindari petir seperti berada di medan perang saja. Berjalan menunduk dan perlahan, ketika ada suara petir terdengar mereka langsung jongkok dan bersandar pada bebatuan besar. Beberapa kali ketika suara petir terdengar, mereka melihat ke arah kami dengan wajah pucat pasi. Tingkah mereka ini menurut saya konyol sekali, tetapi ya maklumi saja, namanya juga takut. Jujur, kala itu saya tidak merasa takut, saya hanya merasa capek sampai tertawa pun sulit untuk saya. Berlebihan sih tetapi ya kurang lebih begitulah keadaan yang sebenarnya. Gerimis pun semakin menjadi-jadi, Robiah dan Winda sudah berjalan jauh di depan kami. Saya sudah menyerah dan saya meminta izin pada Bang Dio untuk berhenti dan menyuruhnya untuk berjalan duluan dan segera mendirikan tenda. Saya akan berjalan perlahan menyusul mereka tetapi Bang Dio menolak permintaan saya. Bang Dio tetap menyuruh saya berjalan karena takutnya nanti saya akan mengalami hipotermia. Jika saya harus tetap berjalan, saya meminta Bang Dio untuk mendirikan tenda di sekitar sana, tidak harus sampai ke puncak baru mendirikan tenda. Bang Dio pun menyetujui.

Robiah dan Winda sudah tidak terlihat lagi di hadapan kami. Entah mereka berada di mana. Akhirnya, saya memaksakan untuk berjalan lagi dan memaksakan semua tenaga saya keluar. Karena saya melihat ada beberapa meter tanah yang datar untuk mendirikan tenda dan di sebelahnya ada pohon-pohon panjang umur, lokasi yang strategis untuk mendirikan tenda. Ternyata Robiah dan Winda duduk bersembunyi di balik pepohonan ini. Kocak sekali. Dengan wajah serius, Robiah menyarankan hal yang sama seperti saya ke Bang Dio. Cuaca sudah semakin gelap dan dingin dengan hujan serta petir yang terus menyambar, tidak akan kondusif jika pendakian tetap dilakukan, takutnya malah kami celaka. Kami pun akhirnya sepakat untuk mendirikan tenda di lokasi tersebut, sekitar empat meter dari bibir kawah Gunung Gede. Cukup mengerikan juga tetapi ya mau bagaimana lagi. Kami mulai membongkar carrier dan membuka tenda. Kerangka tenda sudah terpasang semua, tinggal memasang pasaknya ke tanah saja. Saya dan Winda disuruh Bang Dio langsung masuk ke tenda dan membawa semua barang-barang ke dalam tenda agar tidak basah terkena hujan. Saya dan Winda bertugas untuk menyusun semua barang di dalam tenda dan merapihkan keadaan di dalam tenda. Sedangkan Bang Dio dan Robiah memasang tenda dari luar. Hujan dan angin semakin menjadi-jadi, akhirnya Robiah pun disuruh masuk oleh Bang Dio dan kami pun langsung diminta untuk mengeluarkan sleeping bag dan jaket masing-masing.

Sebenarnya kami membawa dua tenda tetapi karena keadaan yang tidak memungkinkan jadilah kami hanya membangun satu tenda saja. Toh, tendanya juga berkapasitas 4 orang. Semuanya sudah masuk ke dalam tenda, tentu saja minuman hangat harus ada dalam keadaan seperti ini. Karena di luar anginnya sedang tidak santai dan membawa bulir-bulir air hujan ke arah kami, kami memutuskan untuk memasak di dalam tenda. Kami membuat minuman hangat dan memasak nasi serta menggoreng nugget. Lapar cuy. Semakin lama keadaan dalam tenda semakin panas dan pengap, ini dikarenakan uap dari hasil kami memasak. Saya tidak tahan, karena saya mengalami kesulitan untuk bernafas. Apalagi beberapa kali tissue sempat terbakar dan menyebabkan bau angit di dalam tenda. Jadi, sesekali saya meminta Bang Dio yang kebetulan posisinya di dekat pintu tenda untuk membuka pintu tenda agar angin segar bisa masuk. Kasihan juga sih Bang Dio yang kena angin secara langsung, pasti kedinginan. Anggap saja hukuman untuk dia karena mulutnya yang cerewet. Setelah makan dan minum, kami mulai mengatur posisi untuk tidur. Ternyata meskipun tenda berkapasitas 4 orang, kalau barang-barangnya juga masuk dalam tenda, ya tetap saja ya tendanya menjadi agak sempit.

Posisi tidur kami saling silang menyilang. Kaki Bang Dio berada di samping kepala Robiah, kaki Robiah berada di tengah-tengah antara kepala Bang Dio dan kepala saya, kaki saya berada di tengah-tengah antara kepala Robiah dan kepala Winda, lalu kakinya Winda berada di samping kepala saya. Itulah posisi yang menurut kami paling pas agar kaki-kaki kami bisa diluruskan. Sedangkan barang-barang kami berada di pinggiran tenda dan menjadi bantal untuk kepala kami. Saya kira, saya tidak akan bangun-bangun sampai pagi menjelang tetapi nyatanya meskipun kaki saya sudah diluruskan malah terkadang membuat kaki saya menjadi sakit dan kram. Beberapa kali saya terbangun dan mengubah posisi tidur, kadang saya menekuk kaki saya, kadang saya juga sengaja bangun dan duduk sambil memegangi kedua kaki saya. Gila, baru kali ini saya mengutuk malam, kenapa malam ini terasa sangat panjang?

Bang Dio pun sempat terbangun karena kegelisahan saya ini dan saat itu saya dalam posisi duduk. Ketika Bang Dio menanyakan ada apa, saya hanya menggelengkan kepala saja. Terlalu malas untuk mengeluarkan suara, takutnya malah membangunkan yang lain saja. Saya tidur kembali tetapi dengan posisi kaki yang ditekuk karena kaki saya terlalu sakit untuk diluruskan. Winda terbangun dan tiba-tiba langsung menarik kaki saya untuk diluruskan. Sialan! Sok tahu sekali Winda ini. Sebenarnya saya ingin tertawa melihat aksi Winda ini. Mungkin dikiranya saya merasa kesempitan makanya kaki saya ditekuk. Makanya kaki saya ditarik dan dia sedikit bergeser. Saya pun akhirnya bertingkah hal yang sama dengan Winda. Ketika terbangun dan saya melihat kaki Robiah ataupun Winda tertekuk maka saya tarik kaki mereka untuk diluruskan. Terlihat sih mereka terbangun sebentar ketika kakinya saya tarik, mungkin mereka juga terkejut. Sumpah, sebenarnya ini kejadian yang paling tidak penting tetapi hal kecil seperti ini saja sudah bisa membuat saya tersenyum.

Matahari mulai bersinar dan sudah mulai terang, terlihat jelas dari dalam tenda. Kami terbangun bukan karena cahaya matahari yang mulai masuk ke tenda tetapi karena ada beberapa pendaki lain yang melewati tenda kami. Bahkan ada pendaki yang tersandung tali tenda kami. Rajin sekali mereka ini, bangun pagi demi melihat sunrise. Saya pun mau tidak mau juga harus bangun. Saya lupa, rasanya saya buang air kecil di sini, antara ketika malam hari atau pagi harinya. Yang pasti ternyata saya benar-benar halangan. Pantas saja, badan saya merasa tidak enak dan emosi saya tidak stabil apalagi menghadapi Bang Dio. Jangan ditanya kenapa saya bisa tidak tahu jadwal menstruasi saya dan malah mendaki gunung. Percayalah, saya bukan tipe-tipe orang yang selalu mencatat tanggal menstruasi saya. Saya hanya ingat tanggal pertama kali saya menstruasi, yaitu tanggal 10 Juli. Saya pikir, pasti untuk ke depannya tidak akan jauh-jauh dari tanggal 10 tersebut. Nyatanya, kali ini lebih awal dari dugaan saya.
Keadaan setelah tenda dibongkar tempat kami tidur semalam
Pagi ini, Winda ingin memasak pindang ayam untuk sarapan. Hebat sekali! Tetapi saya rasa dia ingin menghilangkan rasa tidak enak dari nugget rebus yang dia makan tadi malam. Aneh-aneh sih, nugget kan kodratnya memang harus digoreng, di tangannya malah jadi nugget rebus. Untung saja, pindang ayam buatan Winda ini enak. Ditambah lagi dengan buavita satu cup dibagi orang dua. Hmmm... Hemat sekali ya. Saya harus berbagi dengan Bang Dio. Berhubung buavita ini isinya tidak bisa dilihat dari luar, jadi saya minum mungkin agak sedikit banyak. Namanya juga wong pembang, nak lemaknyo bae. Biarin saja Bang Dio, hitung-hitung belajar sabar dengan anak kecil. Setelah sarapan berat (pagi-pagi sudah makan nasi dan pindang cuy), kami membereskan tenda dan packing kembali untuk bersiap summit kemudian langsung turun ke Alun-alun Suryana Kencana. Iya, kami memang lintas jalur. Orang Palembang tidak mau rugi. Kalau bisa menikmati semuanya dalam satu perjalanan, kenapa tidak? Ini saja jika kami tidak terhalang cuti, mungkin kami sudah mendaki ke Puncak Pangrango juga.

Ternyata tidak memakan waktu yang lama untuk sampai di Puncak Gunung Gede tetapi jika kami tetap memaksakan untuk berjalan tadi malam, kemungkinan saya akan memusuhi Bang Dio dalam jangka waktu yang lama. Di Puncak Gunung Gede hanya ada Tugu Gunung Gede dan dua warung yang buka. Untuk foto di Tugu Gunung Gede ini pun kami harus mengantri dengan pendaki-pendaki lain. Jadi sedikit malu sih, ketika foto malah dilihatin oleh pendaki lain. Apalagi kebiasaan kami yang selalu bicara pakai bahasa Palembang ini dan nada bicaranya pun tidak pernah santai. Sampai setinggi ini pun masih ada warung cuy. Pembelinya sih pasti ada tetapi apa mereka mendapatkan untung berdagang di puncak gunung ini? Mungkin hanya bisa balik modal saja tetapi tenaga yang terkuras untuk membawa dagangan ke puncak gunung ini apa kabar? Apa mereka tidak capek? Kenapa tidak membuka warung di bawah saja? Mereka tidak akan secapek ini dan kemungkinan juga pembelinya akan lebih banyak dari berdagang di puncak gunung ini. Sekali lagi, manusia itu memang terkadang rumit.
Ada dua orang yang sedang memoto kami, jadi mata tidak fokus menatap ke kamera mana.
 
Bisa ditebaklah ya ini hasil foto siapa.
Kami hanya sebentar saja berada di puncak ini, hanya berfoto dan memoto satu rombongan pendaki lain (timbal balik). Kami turun menuju Alun-alun Surya Kencana. Menurut saya, jalur menuju Surya Kencana ini sudah sangat bagus. Jalannya sudah diberi bebatuan sehingga memudahkan pendaki untuk berjalan. Kemungkinan untuk salah jalan pun sangat kecil. Dari puncak kami turun sekitar pukul 08.00 WIB, sebenarnya masih sangat pagi tetapi kami ingin menghabiskan beberapa waktu di Alun-alun Surya Kencana saja daripada berada di puncak berlama-lama. Di Surya Kencana terlihat sudah ada beberapa tenda yang berdiri, dari ujung ke ujung pasti ada satu tenda yang berdiri. Memang sangat cocok untuk dijadikan camping ground karena memang sangat luas. Kami turun dan mendekati plang arah yang ada di tengah-tengah Surya Kencana. Biasa, bermaksud untuk foto. Kebetulan di sana masih ada rombongan pendaki lain yang sedang berfoto. Kami menunggu giliran berfoto tidak jauh dari mereka, saya lupa siapa yang membuka obrolan terlebih dahulu di antara kami. Kami pun akhirnya saling berkenalan dan bisa ditebak dong seturun dari pendakian pun saya sudah lupa nama mereka. Syuper syekali. Selain perkenalannya sangat cepat, rombongan mereka juga banyak jadi sangat sulit untuk mengingat nama mereka satu per satu. Yang saya ingat hanya Fadhlan, itu pun saya tahu dari Bang Dio setelah sampai rumah karena mereka bertukar nomor whatsapp dan id instagram pada waktu itu. 
Ini jalur turun dari puncak menuju Alun-alun Surya Kencana.
Kami berfoto di plang arah tersebut tidak menggunakan kamera hape kami, temannya Fadlan berbaik hati untuk memoto kami dengan kameranya. Kami juga foto bersama dengan rombongan Fadlan ini. Makanya kami bertukar kontak di sana, untuk berkirim foto. Rombongan Fadlan terlebih dahulu pamit untuk kembali ke tenda mereka, bersiap packing dan turun. Sedangkan kami masih di sana menikmati hamparan edelweis yang belum bermekaran sambil menunggu Bang Dio yang sedang mengambil air di bawah. Iya, persediaan air kami sudah habis dari selesai masak tadi pagi. Menurut saya, Surya Kencana ini tidak sedingin pelataran Gunung Dempo. Di jam yang sama ketika berada di Pelataran Gunung Dempo pun saya masih menggigil kedinginan dan tidak berani jauh-jauh dari tenda tetapi di sini dinginnya tidak separah itu. Saya masih bisa dengan lantang berada di tengah-tengah Alun-alun Surya Kencana sambil foto-foto.
Fadhlan berada di paling kiri, selebihnya saya tidak ingat nama-nama Fadhlan ini.
Inipun hasil foto temannya Fadhlan.
Foto di pohon edelweis yang belum mekar dan tetap ya, menulis nama di gunung.
Setelah Bang Dio selesai mengambil air, kami pun memutuskan untuk segera turun agar tidak kemalaman karena kami harus kembali ke Cibodas. Jiwa petualang orang Sumatera ini Subhanallah sekali ya, demi lintas jalur harus bolak balik seperti ini. Untung saja, kami tidak mencoba via Selabintana. Alun-alun Surya Kencana ini terlalu luas sehingga membuat kami bingung turunnya lewat mana. Sejauh mata memandang pun tidak ada pendaki-pendaki lain yang sedang berjalan menuju tempat kami berdiri ini maupun yang berjalan menjauh dari kami. Semuanya sedang sibuk di depan tenda mereka masing-masing. Sebenarnya plang arah tersebut sudah jelas tertera, arah Gunung Putri ke mana, Selabintana ke mana dan puncak ke mana. Kalau posisi baru turun dari Puncak Gunung Gede, kita bisa langsung mengambil jalan sebelah kiri untuk turun melalui Gunung Putri. Sejelas itu sih sebenarnya tetapi tidak tahu kenapa Bang Dio menye-menye di sini.
Ternyata temannya Fadhlan memoto kami yang sedang duduk di dekat tenda mereka, memalukan sekali.
Sedangkan ini hasil jepretan Bang Dio.
Kami malah berjalan mendekati tenda rombongan Fadlan, tidak tahu tujuan dan maksudnya apa. Kami duduk-duduk tidak jauh dari tenda mereka dan Bang Dio masih tidak membuka omongan ke rombongan Fadlan. Sebenarnya kami ingin turun bersama mereka tetapi melihat mereka packing sepertinya mereka masih lama. Sampai akhirnya kami pun berpamitan untuk turun duluan dan berjalan ke arah jalan yang sesuai dengan arah plang tersebut. Robiah masih terlihat tidak yakin dengan jalan yang kami ambil ini. Beberapa kali dalam perjalanan Robiah bertanya seperti ini dengan Bang Dio, "Yakin wak lewat sini?" Wajar sih Robiah ragu, saya juga sempat ragu karena tidak ada pendaki lain yang melewati jalan ini bersama kami. Apalagi jalan ini lurus saja seperti tidak ada akhirnya. Terlihat di ujung jalan ada bebukitan dan tidak jauh dari sana ada plang, semacam papan peringatan. Kami pikir, mungkin turunnya melewati bebukitan tersebut karena papan tulisan tersebut seperti papan-papan pada umumnya yang berada di gunung, mungkin berisikan tulisan selamat datang di jalur pendakian bla bla bla. Tetapi jalan yang kami lewati ini tidak mengarah ke bebukitan tersebut, jalan ini tetap lurus seperti tidak ada ujung. Robiah masih terlihat tidak yakin, sampai akhirnya di ujung jalan kami melihat tenda dan beberapa pendaki. Sontak Robiah langsung mengucap, "Alhamdulillah". Ngakak sih, ternyata Robiah seragu itu coy. Wajahnya terlihat bergembira, tidak seperti di perjalanan tadi, wajah yang penuh dengan kebimbangan dan keraguan. Kami pun semuanya tertawa. Ternyata juga, beberapa rombongan Fadlan sudah terlihat berjalan di belakang kami. Gila, cepat juga mereka.
Jalur di Alun-alun Surya Kencana yang seperti tidak ada ujung.
Sepanjang perjalanan kami di Alun-alun Surya Kencana, kami menikmati hamparan pohon-pohon edelweis meskipun bunganya belum bermekaran tetapi sudah cukup indah untuk dipandang. Sampai ujung jalan ternyata ada sebuah tebing, jalan turun bukan di sana melainkan kami harus berjalan ke arah sebelah kiri. Patokannya ada batu besar dan tidak jauh dari batu tersebut ada warung. Di warung ini kami sempat membeli marimas, bekal minuman untuk sepanjang perjalanan nanti. Berhubung masing-masing dari kami juga membawa tumbler jadi ini memudahkan kami jika sewaktu-waktu ingin minum, tanpa harus menunggu teman yang membawa air. Melihat warung di gunung itu rasanya bagaimana ya, lebih ke takjub sih dan semoga saja sampah dari warung dibawa turun kembali. Saya percaya sih orang lokal lebih peduli daripada pendatang. Trek turun awalnya berupa tangga-tangga batu yang lebar, menurut saya treknya sangat bagus tetapi semakin ke bawah tidak lagi seperti itu. Treknya berubah menjadi terjal tetapi tidak membuat langkah kaki saya melambat. Biasalah, kalau jalan turun saya lebih cepat daripada naik.
Ini salah satu spot jalur turun via Gunung Putri.
Bang Dio berada paling depan, saya setelahnya, dan di belakang saya ada Robiah dan Winda. Jalan turun terasa jauh lebih enak dibandingkan ketika naik kemarin, saya pun hampir beberapa kali kebablasan berjalan karena terlalu ngebut dan mungkin juga karena faktor jari-jari kaki kiri saya yang pernah patah. Jadi rem kaki kiri tidak terlalu cakram 😁Untung banyak pohon yang bisa dijadikan pegangan. Di sini malah Robiah dan Winda yang kelihatan kewalahan ketika turun. Kami tidak banyak berfoto di jalan turun ini, berbeda sekali ketika naik kemarin, hampir setiap jengkal kaki melangkah pasti berfoto. Ada baiknya juga hape saya habis baterai ketika berfoto di Puncak Gunung Gede tadi. Ketika turun, beberapa kali kami melihat teman photographer-nya Fadlan ada di belakang kami, sepertinya dia terlalu cepat berjalan dan teman-temannya masih jauh tertinggal di belakang. Eh, kenapa saya memanggilnya photographer? Karena di rombongan Fadlan hanya dia yang menjadi kang foto. Malah dia yang pertama kali berinisiatif untuk memoto kami berempat. Sayang sekali saya lupa namanya hehe..

Cara mudah untuk menyemangati Robiah adalah dengan mengiming-iminginya dengan sate kelinci. "Semangat wak, biar cepat makan sate kelinci di bawah." Jalur Gunung Putri ini jauh lebih ramai daripada lewat Cibodas. Sewaktu kami turun, banyak sekali pendaki-pendaki yang mau naik. Jujur, saya sangat terganggu dengan pendaki-pendaki yang menghidupkan lagu dengan volume yang lumayan keras selama pendakian. Apalagi sampai yang membawa speaker ke atas gunung. Kalian mau konser atau karaokean di atas gunung? Dengan kehadiran kita saja, satwa-satwa di gunung pasti terganggu apalagi dengan suara keras dari speaker kalian. Saya sangat menghargai jika kawan-kawan mendengarkan lagu langsung dari earphone kalian atau bernyanyi melalui mulutmu saja tetapi dengan volume sedang. Bayangkan saja jika satwa-satwa di sana sedang sensitif dan ditambah mendengar suara keras dari speaker yang kalian bawa. Tidak menutup kemungkinan mereka akan menyerang kalian.

Setiap pos kami pasti berhenti untuk istirahat. Sebenarnya tidak hanya di pos saja jika dirasa sedikit lelah kami pasti beristirahat tetapi beristirahat di pos akan lebih lama ketimbang istirahat di jalur. Kami beristirahat lama di Pos Buntut Lutung. Di pos ini banyak sekali pendaki, bahkan ada beberapa tenda yang berdiri. Kami mencari tempat istirahat tidak jauh-jauh ketika sampai di Pos Buntut Lutung, pohon pertama yang kami lihat langsung menjadi tempat kami untuk duduk. Tidak jauh dari kami ada beberapa rombongan pendaki lain tetapi yang hanya bertegur sapa dengan kami adalah rombongan Bang Adink dan Arfan. Bicara tentang speaker tadi, ternyata rombongan Bang Adink dan Arfan ini juga sedang mendengarkan lagu melalui speaker yang mereka bawa. Semoga saja hanya di pos ini mereka mendengarkan lagu karena pos ini juga sudah terlalu ramai dan sudah berada tidak terlalu tinggi lagi.
Pohon pertama tempat kami duduk di Pos Buntut Lutung, yang kaos hijau di belakang adalah Arfan.
Selama perjalanan turun kami belum makan sama sekali, hanya memakan coklat-coklat kemasan kecil saja, ya semacam jajanan seperti itu. Rasanya pun logistik kami telah habis. Oh iya, selama turun ini pun masih banyak warung tetapi belum buka, katanya sih agak siangan bukanya. Yaaa... Selama perjalanan hanya mengandalkan makanan yang ditawarkan oleh pendaki lain. Hitung-hitung bisa mengganjal perut. Sobat missqueen syekaliii ya... Alhamdulillah juga ada beberapa pendaki yang benaran menawarkan makanan, ada yang memberi roti tawar dan rombongan Bang Adink, Arfan ini memberi kami kacang. Lumayanlah ya. Tenaga kami juga bertambah berkat rasa manis dari marimas. Di Pos Buntut Lutung ini pun kami sempat bertukar kontak dengan Arfan dan selfie. Sepertinya Arfan ini tipikal orang yang tidak bisa diam, cocok sekali jika dibawa ke gunung.
Hasil selfie dengan Arfan, sayang Bang Adink tidak bergabung foto juga.
Dirasa istirahatnya cukup, kami beranjak untuk turun kembali dan berpamitan dengan rombongan Bang Adink dan Arfan. Kami kembali menyemangati diri ini masing-masing, jika Robiah menyemangati untuk makan sate kelinci. Saya menyemangati diri saya dengan es teh. Tetapi ada hal lain yang membuat saya ingin cepat-cepat sampai di bawah, yaitu ingin membuka sepatu. Kedua jempol kaki saya terasa sakit, sepertinya sih lecet dan hal ini beberapa kali mengganggu saya berjalan. Karena tidak tahan lagi, akhirnya saya membuka sepatu saya dan mengecek ada apa dengan kedua jempol kaki saya ini. Ternyata bagian bawah kedua jari jempol saya seperti melepuh dan seperti berisi air. Pantas saja saya berjalan sakit. Penyebabnya mungkin karena kaos kaki yang saya pakai ini lembab jadi membuat kulit saya pun lembab dan tergesek di kaos kaki. Akibatnya ya ini, kulit saya melepuh dan seperti berisi air. Bodohnya, saya meninggalkan plester di basecamp Mang Idi, di Cibodas. Saya terpaksa berjalan sedikit pincang, saya menahannya sampai akhirnya tiba di Pos Shelter Baru. Di sana, saya meminta plester dengan pendaki lain. Bayangkan saja, baru berkenalan dan bersalaman, saya langsung minta dua plester. Untung saja P3K mereka lengkap. Langsung saja saya memasangkan plester tersebut ke jari-jari jempol kaki saya.
Ini foto di Pos Shelter Baru, setelah jempol kaki saya dipasang plester.
Setelah plester terpasang, jalan saya masih sedikit pincang. Ternyata rasa sakitnya tidak hilang meskipun sudah diplester. Lalu, akibat saya turunnya ngebut, kaki sebelah kanan saya pun sedikit keseleo. Lengkap sudah! Kaki keseleo, menapakkan kaki sakit, ditambah rasa lapar pula. Kurang menderita apalagi pendakian ini. Tetapi setidaknya ketika berada di Pos Tanah Merah, satu masalah akan teratasi. Di sini kami kembali membagikan sisa-sisa makanan yang ada di kami. Ternyata masih ada buavita dan harus dibagi dua lagi. Semua makanan kami habiskan di sini, termasuk marimas di dalam tumbler saya pun sudah habis. Dari Pos Tanah Merah ini, kami sudah bisa melihat kebun sayuran warga di sana. Bahkan di sebelah Pos Tanah Merah ini sudah ada kebun sayuran. Saya lupa berada di pos ini jam berapa, ketika kami beristirahat di sini beberapa penjual warung-warung yang di atas baru naik sambil membawa dua karung dagangannya. Entah apa-apa saja yang mereka bawa sampai sebanyak itu.

Kami memburu waktu kembali, kami harus segera turun karena cuaca juga sudah mendung dan kadang-kadang gerimis pun datang dan pergi. Saya kira setelah melihat perkebunan sayur warga ini basecamp Cipanas sudah dekat tetapi kami masih harus melewati anak sungai, perkebunan warga, pos polisi hutan, rumah penduduk, barulah kami tiba di basecamp. Kami terus berjalan sampai akhirnya melewati basecamp Cipanas ini tetapi tiba-tiba Bang Dio dipanggil oleh petugas di sana. Berhubung kaki saya pincang jadi ketika Bang Dio dipanggil oleh petugas, saya baru saja tiba di basecamp ini. Ternyata kami disuruh untuk laporan setelah turun dari pendakian. Bagaimana kami harus melapor jika naik saja nama kami tidak tercatat di basecamp Cibodas? Ternyata petugas di sana juga sudah maklum dengan pendaki-pendaki illegal seperti kami ini, yang mendaki tanpa mendaftar melalui website Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Kata mereka, meskipun tidak mendaftar melalui website tetapi harus lapor ke basecamp jika sudah turun. Akhirnya kami pun dipersilahkan untuk turun.

Setelah melewati basecamp, tidak serta merta kami sudah sampai ke tempat untuk mencari angkutan umum. Ternyata kami harus berjalan turun lagi melewati rumah-rumah warga dan jalannya ini sangat menurun. Tidak jauh dari basecamp tersebut banyak penginapan-penginapan dan tempat parkir motor yang tersedia. Iya, pendaki-pendaki di sini banyak yang membawa motor sendiri karena memang lokasi Gunung Gede ini tidak berada jauh dari peradaban dan mudah dijangkau dengan kendaraan bermotor. Setelah sampai di bawah (tempat angkutan umum), kami melihat hanya ada satu angkutan umum yang terparkir di sana. Harga pertama yang dikeluarkan oleh sopir untuk sampai ke Cibodas adalah Rp 200.000,-. Kami tawar Rp 150.000,- tetapi tidak diberikan, bapak sopir ini cukup teguh dengan harga awalnya dan kami pun tetap kukuh dengan harga Rp 150.000,-. Akhirnya, kata sepakat pada angka Rp 160.000,-. Si bapak sopir mau tidak mau harus mengalah melawan kami.

Sebenarnya harga Rp 200.000,- itu worth it sih. Karena selama perjalanan si bapak sopir tidak mengangkut penumpang lain dan ternyata jarak basecamp Gunung Putri ini ke Cibodas lumayan jauh juga. Nilai plus lainnya adalah si bapak sopir ini baik. Beliau banyak cerita tentang hidupnya, dari cerita beliau yang pernah menjadi sopir bus ke Pulau Sumatera sampai cerita beliau yang ditinggal istrinya dan terpaksa harus mengurus anak-anaknya dengan bantuan asisten rumah tangga. Beliau menyewa asisten rumah tangga karena selama dia bekerja tidak ada yang menjaga dan merawat anak-anaknya. Ya, hidup itu keras ya, guys. Saya tidak menyangka dibalik tawa ceria si bapak ternyata ada beban berat yang harus ditanggungnya.

Saya lupa jam berapa sampai di basecamp Mang Idi (Cibodas). Setiba di sana kami segera mandi dan makan. Wah, kalian tidak tahu makanan di basecamp Mang Idi ini enak sekali apalagi cumi dan sambal ikannya yang crispy. Tetapi itu enak menurut saya ya. Bang Dio makan duluan, saya, Robiah dan Winda makan setelah kami semua sudah mandi. Ketika kami sampai kembali di basecamp Mang Idi ini, ada seorang kakek yang terlihat ramah keliling di sekitar basecamp. Beliau menyuruh kami memanggilnya dengan sebutan abah. Saya tidak tahu abah ini siapa dan rumahnya di mana, kemarin sebelum kami mendaki beliau ini belum ada.

Ketika saya, Robiah dan Winda baru selesai makan, Bang Dio entah dari mana datang dan duduk bersama kami. Nasi Robiah yang tidak habis pun langsung dimakan oleh Bang Dio. Maklum, namanya saja sapu jagat. Tetapi ya, yang pasti alasannya karena sayang jika nasinya dibuang. Saat kami sedang asyik bercerita, tiba-tiba abah ini datang nimbrung dengan kami dan mengajak bercerita juga tetapi lama kelamaan abah ini bukan terlihat ramah melainkan sok dekat. Setiap ada kesempatan, pasti beliau mendekati kami dan tiba-tiba bercerita, ceritanya pun random. Bukannya apa tetapi kami merasa tidak ada privacy lagi. Setiap kami sedang cerita pasti beliau muncul.

Pada malam harinya, kami berempat berkeliling pasar untuk mencari penjual sate kelinci. Tetapi kami tidak menemukan satu pun penjual sate kelinci di sana. Akhirnya, kami beralih ke pedagang bakso yang memang dari kemarin selalu setia buka meskipun menurut saya pasar ini sangat sepi jika di malam hari. Daripada tanggung, lebih baik kami makan di sana saja. Kami hanya memesan semangkok bakso dan mie ayam. Jangan pesan banyak-banyak jika baru pertama kali mencoba, takutnya nanti makanannya tidak enak. Apalagi warung bakso ini mencurigakan sekali. Kenapa mencurigakan? Karena dari malam kami berkeliling kemarin ketika mencari sayuran untuk logistik mendaki, warung ini sudah sangat sepi, tidak terlihat satu pun orang yang membelinya.

Semangkok bakso pun datang dan kemudian disusul dengan semangkok mie ayam. Saya yang pertama kali mencicipi pentol bakso ini. Benar saja, rasanya amburadul, ya Allah. Baru kali ini saya makan bakso tidak enak, biasanya kuahnya yang tidak enak. Ini semuanya tidak enak, dari kuah sampai pentol baksonya. Rasa dagingnya aneh dan tekstur daging baksonya tidak halus. Bingung saya tuh, ini buatnya pakai daging apa sih. Sebagai orang pertama yang makan, saya bilang ke teman-teman yang lain jika baksonya tidak enak. Robiah pun penasaran dan mencicipinya. Benar saja, bukan hanya lidah saya yang merasa jika bakso ini tidak enak.

Saya pun beralih mencicipi mie ayam, ternyata sama saja. Sama-sama tidak enak. Ampun, pantas saja sepi. Tuh kan, mulai lagi julidnya. Sepertinya Bang Dio ini tidak mendengar ketika saya bilang jika baksonya tidak enak. Dia kelihatan terkejut ketika pentol bakso masuk ke mulutnya dan bilang tidak enak juga. Bambang Bambang, dari tadi juga saya sudah bilang tidak enak. Sedang ribut-ributnya mengomentari makanan, si abah ini muncul di warung bakso ini dan menegur kami. Aelah, si abah ini ada radar atau bagaimana ya, kok bisa tahu keberadaan kami. Kami hanya tersenyum saja, jangan mengeluarkan sepatah kata pun, takutnya nanti malah dia nimbrung ngobrol dengan kami yang sedang berdebat tentang bakso ini. Meskipun baksonya tidak enak tetapi tetap saja dihabiskan oleh sapu jagat. Tidak usah ditanya siapa sapu jagatnya, kalian pasti sudah bisa menebak orangnya siapa. Klasik sih, dengan alasan sayang kalau dibuang. Saya hanya makan sedikit. Setelah merasakan tidak enaknya bakso saya mengambil air mineral botol satu untuk kami berempat minum. Harus hemat, kan di basecamp Mang Idi masih ada minum. Kami harus membayar Rp 50.000,- untuk semangkuk bakso, mie ayam dan sebotol air mineral ukuran sedang. Termasuk mahal untuk makanan yang tidak enak.

Alhamdulillah, ketika kami kembali ke basecamp Mang Idi, si abah ini tidak mengikuti kami. Malam ini, kami mengatur strategi untuk besok. Kami mulai searching destinasi menarik yang bisa kami kunjungi dalam waktu singkat dan sekaligus lokasi yang kira-kira ada penjual sate kelincinya. Ada beberapa opsi, yaitu Kebun Raya Bogor, Taman Safari dan Kebun Raya Cibodas. Kebun Raya Bogor dicoret karena menurut kami di sana akan memakan banyak waktu, Taman Safari dicoret karena tiket masuknya mahal, tersisalah Kebun Raya Cibodas. Kebun Raya Cibodas dipilih karena kami bisa jalan kaki saja menuju sana dan harga tiket masuk pun tidak mahal.

Malam itu pun kami sudah selesai packing kembali. Biar besok paginya ketika bangun kami hanya memasukan baju kotor saja dan juga, kami packing karena basecamp sudah mulai ramai. Penghuninya sudah bukan hanya kami lagi. Penghuninya ada beberapa pendaki yang bawa carrier besar semua dan komunitas go-jek atau bikers, pokoknya komunitas motor deh. Yang saya heran pendaki-pendaki itu bawa apa saja sih? Sampai satu rombongan membawa carrier besar semua. Apa tidak berat? Basecamp mulai ramai dengan suara-suara mereka. Herannya tidak ada toleransi sama sekali sesama penghuni basecamp di sini. Hari sudah larut malam tetapi mereka tetap bercerita dan tertawa dengan suara yang keras tanpa peduli jika kami sudah tertidur. Setidaknya volume suaranya bisa dikecilkan sedikitlah.

Klik 
di sini untuk membaca cerita selanjutnya di Kebun Raya Cibodas.

Klik di sini untuk melihat video pendek perjalanan kami.

No comments:

Post a Comment