Mau Cari Apa?

Friday 4 October 2019

Kebun Raya Cibodas, 6 April 2019

Berada di gerbang masuk Kebun Raya Cibodas.
Tanggal 6 April 2019 pukul 08.00 WIB kami sudah siap menuju Kebun Raya Cibodas. Semua barang telah di-packing tinggal dibawa saja nanti. Kami menuju Kebun Raya Cibodas dengan membawa tas kecil saja dan kami berjalan kaki menuju sana. Ternyata memang sangat dekat, tinggal naik tanjakan saja sudah langsung sampai. Setelah membayar uang tiket sebesar Rp 16.500,-/orang, kami langsung masuk dan mencari petunjuk arah di mana-mana setiap lokasi yang kami searching tadi malam berada. Kami mulai dengan rumah kaca. Dari pintu masuk, kami berjalan lurus sampai mentok dan belok ke kanan, lalu lurus, belok ke kiri, lurus lagi, belok lagi ke kiri, lurus lagi sampai ketemu dengan kantor LIPI. Setelah itu, kami masih harus berjalan lagi ke arah kiri, lurus lagi sampai mentok, lalu belok ke kanan, lurus lagi sampai ke ujung bertemu dua rumah kayu besar. Di belakang rumah kayu sebelah kiri, baru kami bertemu dengan rumah kaca. Bayangkan saja, baru kemarin kami turun mendaki dan ini harus berjalan lagi sampai ke ujung Kebun Raya Cibodas. Lebih sangat disarankan jika kalian ke sini menggunakan motor saja karena lokasinya yang sangat luas. Tetapi jika kalian ingin olahraga, bisalah berjalan kaki seperti yang kami lakukan ini.


Foto di depan kantor LIPI Kebun Raya Cibodas

Salah satu rumah kayu di sana, ternyata rumah tersebut adalah penginapan.
Di rumah kaca, kami melihat tanaman-tanaman kecil dan tanaman kaktus yang dijual. Harganya murah-murah, dimulai dari Rp 5.000,-. Sebenarnya saya ingin beli tetapi membayangkan membawanya sampai ke Palembang, sepertinya akan merepotkan. Dari rumah kaca, kami disarankan oleh kakak penjaga rumah kaca untuk melihat bunga bangkai. Katanya, kebetulan sekali hari ini bunganya sedang mekar jadi sangat sayang untuk dilewatkan. Dari saran kakak tersebut, kami langsung menuju ke lokasi bunga bangkai yang berada di sebelah kanan rumah kayu. Benar saja, ada satu bunga bangkai yang sedang mekar. Sekeliling bunga bangkai ini dipagar besi, kami hanya bisa melihatnya dari celah-celah pagar saja.
Bunga bangkai yang berada di Kebun Raya Cibodas, sepertinya berbeda dengan bunga bangkai yang di Bengkulu.
Harus pintar mencari celah di pagar ini biar dapat foto yang pas.
Dari bunga bangkai, kami kembali lagi ke titik awal kami masuk. Kami ingin melihat taman bunga sakura. Untung saja kami membawa air minum masing-masing, jika tidak bisa-bisa kami pingsan keliling di sini. Jika tadi dari pintu masuk kami belok ke kanan, lokasi taman bunga sakura ini berada di arah sebaliknya. Kami sempat memutar karena ternyata salah jalan. Menuju taman bunga sakura ini, petunjuk arahnya kurang jelas. Aaah... Tidak terbayangkan berapa meter atau bahkan kilometer kami sudah berjalan. Winda pun sudah terlihat sangat kelelahan. Kami memutuskan setelah melihat taman bunga sakura untuk segera kembali ke basecamp Mang Idi karena hari sudah siang dan kami harus kembali ke Kota Bogor untuk mencari bis yang langsung menuju Kota Palembang. Rencana tinggal rencana, nyatanya setelah bertemu dengan taman bunga sakura, Bang Dio malah membuka hammock. Jadilah kami berleye-leye sebentar di sini. Yang paling miris adalah ketika Bang Dio menemukan sisa snack di sini, sepertinya baru saja ditinggalkan dengan yang punya dan snack itu pun dimakan olehnya. The real sapu jagat, ya kan? Sebagai teman, sebenarnya saya malu. Tetapi teman seperti inilah yang seharusnya dilestarikan, dijamin kita tidak akan kelaparan ketika jalan dengan dia meskipun harus makan makanan sisa 😂 
Ini ketika saya dan Winda malas untuk naik ke atas menemui Bang Dio dan Robiah yang membuka hammock.
Setelah di atas, ternyata asyik juga hammock-an.
Sebelum sampai ke basecamp Mang Idi, kami mampir dulu ke toko oleh-oleh di sekitar sana. Toko oleh-olehnya didominasi dengan jualan keripik-keripik dan ubi talas. Sebenarnya papi saya menitip ubi talas bogor tetapi ya gila saja, ubi sebesar itu bagaimana saya akan membawanya. Sejak beberapa kali bepergian, saya memang tidak pernah membawa pulang oleh-oleh. Sampai pada akhirnya orang-orang di rumah protes ke saya, percuma pergi jauh-jauh tetapi tidak membawa makanan khas dari daerah yang saya kunjungi. Jadilah, sejak saat itu saya membiasakan membeli oleh-oleh meskipun hanya sebungkus keripik. Saya ingat sekali, pertama kali saya membiasakan diri untuk membeli oleh-oleh adalah ketika pergi ke Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur.

Setelah membeli oleh-oleh, kami menuju basecamp Mang Idi dan langsung makan siang serta memesan es teh manis. Sisa-sisa batu es dari es teh manis kami masukan ke dalam tumbler, lumayan untuk menjadi penyegar dahaga kami di perjalanan menuju Kota Bogor nanti. Makan selesai, Bang Dio juga sudah shalat, kami naik angkot menuju Kota Bogor dari basecamp Mang Idi. Tetapi sebelum itu, kami menyempatkan diri untuk foto dahulu bersama Abah Idi, yang punya basecamp ini. Mang Idi ini juga ternyata mempunyai villa di bawah, yang menakjubkan adalah Mang Idi sendiri dan keluarga yang mengelola semuanya. Abah Idi pun menawarkan villanya kepada kami jika ke sana lagi.
Foto bersama Abah Idi di depan basecamp Mang Idi.
Di awal perjalanan menuju Kota Bogor keadaan jalan raya lancar-lancar saja sampai pada akhirnya M-A-C-E-T. Saya tidak tahu di kilometer berapa titik macet ini. Ternyata hari ini adalah hari Sabtu, kata si sopir angkot sudah wajar jika hari Sabtu macet karena banyak yang pergi ke Puncak Bogor. Sepertinya orang kota haus liburan sekali ya, rela bermacetan ria hanya untuk melihat perkebunan teh. Yang saya lihat sih Puncak Bogor ini tidak jauh berbeda dengan perkebunan-perkebunan teh pada umumnya yang dihiasi dengan beberapa villa atau hotel. Di tengah kemacetan seperti ini, Bang Dio tidak bisa diam di dalam angkot, beberapa kali dia turun dari angkot dan naik kembali. Ya karena memang jalanan sangat macet, malah kemungkinan lebih cepat langkah kaki kami daripada mobil-mobil ini berjalan.

Ketika angkot kembali berjalan, Bang Dio tidak terlihat. Entah, dia berjalan ke mana. Angkot pun kembali berhenti, tiba-tiba dia muncul kembali dan bilang jika dia menemukan penjual sate kelinci dan sudah memesan satu bungkus. Ya ampun! Terniat sekali sih. Sampai akhirnya angkot berjalan kembali, sate kelinci pesanan mereka belum juga selesai. Terpaksa si abang sopir angkot harus menunggu sate kelinci selesai dibungkus juga di tengah-tengah kemacetan ini. Orang Palembang ya, berasa sultan sekali. Di tengah macet-macet seperti ini malah memesan sate kelinci. Si abang sopir angkot sempat berkata kepada kami jangan lama-lama. Dilihat dari ekspresi wajahnya, sepertinya abang sopir ini sedikit kesal dengan kami. Angkot ini pun terpaksa parkir memakan jalan sedikit sehingga membuat mobil lain harus mendahuluinya dan terkadang diklakson oleh kendaraan lain.

Akhirnya sate kelinci pun sudah selesai dibungkus. Bang Dio dan Robiah yang tadinya turun dari angkot kembali naik ke dalam angkot. Angkot pun kembali berjalan. Saya lebih memilih untuk tidur daripada bergabung dengan mereka memakan sate kelinci. Terserah, meskipun mereka bilang enak tetapi saya tidak akan memakannya. Apalagi ditambah Bang Dio yang bilang jika dia melihat kepala-kepala kelinci di warung tersebut. Rasanya saya ingin muntah, saya tidak tega memakannya. Seenak-enaknya sate kelinci, saya pikir tidak akan mengalahkan enaknya sate kambing.

Karena macet tersebut, kami tiba di Kota Bogor pada sore hari. Saya lupa jam berapa, sepertinya sih sekitar pukul 17.00 WIB. Menurut penumpang-penumpang di angkot tadi jika sudah sore seperti ini tidak ada lagi bis yang langsung menuju Kota Palembang. Maksimal bis-bis tersebut berangkat pada pukul 14.00 WIB sedangkan pada jam segitu kami masih terjebak macet. Sialnya, kami pun harus berganti angkot, kata si abang angkot sih rute angkotnya tidak menuju terminal. Lantas, kami dinaikan ke angkot lain yang menuju terminal. Si abang angkot yang rutenya menuju terminal ini bilang jika ada dua terminal, dia menanyakan di terminal mana kami akan turun. Kami semua langsung saling tatap karena kami tidak ada yang tahu nama terminalnya. Kami kira hanya ada satu terminal di Kota Bogor ini. Untung saja, ada mahasiswa di angkot tersebut. Kami pun menjelaskan tujuan kami ke mana, kami ingin naik bis menuju terminal Kampung Rambutan dan kebetulan sekali si mahasiswa ini pun akan turun di terminal yang ada bis tersebut. Si mbak mahasiswa ini bilang ke kami, ikut turun saja jika dia juga turun.

Ternyata terminalnya memang sama dengan terminal yang kami lewati kemarin. Kami pun lantas segera turun, jangan tanya ongkos angkotnya, saya sudah lupa. Maklumlah, short memory. Kami masih berusaha mencari bis yang langsung menuju Kota Palembang, kami sudah terlalu capek untuk naik turun ganti angkutan. Hasilnya sama seperti kata penumpang angkot tadi, tidak ada lagi bis yang langsung menuju Kota Palembang sekitar jam segitu. Katanya, kloter bis terakhir berangkat sejam sebelumnya, tipis sekali. Jadi, kami harus kembali lagi ke terminal Kampung Rambutan untuk menuju Pelabuhan Merak. Sejauh mata memandang sih memang tidak terlihat bis yang langsung menuju Pelabuhan Merak di terminal ini.

Seperti biasa, Robiah dan Winda duduk berdua sedangkan saya bersama Bang Dio. Sialnya, selama perjalanan menuju Terminal Kampung Rambutan ini tidur saya terganggu oleh Bang Dio. Setiap mata saya ingin terpejam pasti dia menanyakan sesuatu hal dengan saya, hal-hal yang tidak penting. Kalau tidak bisa tidur ya diam saja sih, tidak usah mengajak orang bicara. Bodohnya, saya pun melayani obrolannya tetapi memang ada obrolan yang menarik di perbincangan kami, yaitu membahas cewek yang naksir Bang Dio. Kebetulan cewek tersebut sudah beberapa kali menghubungi saya hanya untuk menanyakan Bang Dio. Alhamdulillah, ternyata ada juga cewek yang suka dengan Bang Dio 😁 Sampai pada akhirnya tiba di Terminal Kampung Rambutan pun saya tidak jadi tidur. Sialan!

Sesampai di terminal, kami langsung mencari bis menuju Pelabuhan Merak. Banyak bis yang terparkir menuju Pelabuhan Merak dan kami diarahkan ke salah satu bis yang terparkir paling ujung, di dalamnya sudah ada satu dua penumpang. Dirasa-rasa sepertinya perut kami sudah lapar kembali. Wajar saja, terakhir kali saya makan di basecamp Mang Idi sedangkan mereka berbagi satu bungkus sate kelinci di angkot tadi siang. Bang Dio dan Robiah memutuskan untuk turun dan membeli nasi bungkus. Kami hanya membeli dua nasi bungkus, satu bungkus untuk dua orang. Kami lapar tetapi tidak akan sanggup untuk makan banyak. Saya harus berbagi nasi bungkus dengan Bang Dio sedangkan Robiah berbagi dengan Winda. Kami makan di dalam bis, aroma nasi padang langsung menyeruak ke penjuru bis. Biarkan saja, anggap saja bis sendiri. Paha kami menjadi alas nasi bungkus yang sedang panas-panasnya, lumayan penjadi penghangat di tengah dinginnya AC bis. Entah kenapa, makan seperti ini saja sudah sangat nikmat sekali.

Perjalanan menuju Pelabuhan Merak kami habiskan dengan tidur. Sudah tidak ingat lagi jam berapa sampai di Pelabuhan Merak, suasana di pelabuhan hening tetapi ramai dengan orang-orang. Tengah malam seperti ini masih banyak orang-orang yang mau menyeberang ke Pulau Sumatera. Antrian top up kartu pembayaran pun ramai diserbu, yang paling menjengkelkan adalah mereka tidak mengantri dan sering mengambil antrian orang. Hal yang seperti ini yang selalu berhasil membuat saya sedikit emosi. Kalau seperti ini biasanya saya menegur orangnya atau hanya sekedar melotot ke mereka. Jangan seenaknya sajalah, kita sama-sama capek bapak/ibu yang terhormat. Ketika kartu pembayaran penyeberangan sudah terisi kami lantas segera berjalan masuk ke pelabuhan. Saya dan yang lainnya mengira jika pembelian tiket dilakukan di dalam pelabuhan, tetapi ternyata loket pembelian tiket bersebelahan dengan loket top up kartu yang berada di depan pelabuhan tadi.

Saya dan Winda harus kembali lagi ke depan, sementara Bang Dio dan Robiah menunggu di pintu masuk pelabuhan. Loket pembelian tiket pun ramainya tidak jauh berbeda dengan loket top up. Pantas saja kami tidak tahu. Setelah mendapatkan tiket, kami langsung masuk dan menuju kapal yang akan kami naiki nanti. Kami mencari tempat duduk paling atas, biar terkena angin. Lagian, tempat duduk yang berada di dalam sudah penuh. Kami malas mencari celah-celah tempat duduk di dalam kapal ini.

Tidak lama setelah kapal berangkat, ada beberapa bapak-bapak yang berdiri di depan para penumpang dan menjelaskan tentang kapal, bagaimana memakai pelampung dan di mana kita dapat menemukan pelampung tersebut di kapal ini, sepertinya sih ABK tetapi tidak memakai seragam. Dirasa semua penumpang telah mengerti, si bapak ini mulai berdagang cuy, dari buff multifungsisarung/kain, sampai minyak angin. Dagangannya yang paling laris adalah minyak angin 😁 Bagaimana tidak? Di atas kapal ini angin malam sangat terasa, bahkan sampai membuat menggigil, pantas saja penumpang lebih memilih membeli minyak angin. Hitung-hitung biar tidak masuk angin di kapal.

Herannya, kenapa kami begitu fokus sekali melihat si bapak berjualan dan ikut tertawa dengan leluconnya. Hiburan di kapal sesederhana ini, guys. Setelah si bapak selesai melakukan orasi dagangannya, kami memilih untuk tidur. Bisa dibayangkan bagaimana kami tidur di kapal ini. Kami tidur dalam posisi duduk. Senderan kursinya hanya sebatas pinggang kami, lebih sedikit tinggi sih daripada pinggang kami tetapi tidak sampai melebihi bahu. Jangan heran ketika bangun leher terasa sakit dan pegal jika tidur dalam posisi seperti ini. Saya pun sadar beberapa kali kepala saya terombang-ambing ke kanan dan kiri.

Tiba di Pelabuhan Bakaheuni tepat sekali dengan waktu adzan shubuh. Keluar dari pelabuhan, seketika beberapa sopir travel langsung menyerbu dengan menyebutkan rute mereka. Kami mengikuti sopir travel yang menyebutkan arah Stasiun Tanjung Karang. Ketika barang sudah dimasukan ke dalam mobil, tidak lantas kami langsung berangkat, kami masih menunggu penumpang lain sampai akhirnya mobil ini terisi penuh. Enaknya, travel ini mengantar ke tempat dan kami terpaksa diantar paling akhir karena stasiun berada paling jauh dari lokasi penumpang-penumpang lainnya. Ongkos travel ini sama seperti sebelumnya kami berangkat kemarin, yaitu Rp 50.000,-/orang tanpa ongkos tambahan. Kami menuju stasiun tetapi kami belum membeli tiket kereta menuju Palembang. Kami sudah mengecek tiket kereta secara online ketika berada di Bogor kemarin, saat kami tidak ketemu dengan bis langsung menuju Kota Palembang. Kemarin saat kami mengecek di traveloka, tiket.com, dan aplikasi-aplikasi lainnya tiket kereta pagi menuju Palembang pada hari itu sudah tidak ada lagi. Kami memutuskan untuk langsung membeli di stasiun, biasanya sih ada tiket lebih yang dijual.

Nyatanya ketika kami sampai di sana tidak ada lagi tiket yang tersisa untuk hari itu. Terpaksa kami harus naik travel menuju Kota Palembang. Di stasiun ini banyak travel-travel yang terparkir dengan berbagai tujuan, kami pun mencari travel yang menuju Kota Palembang. Ketika sudah memasukan barang-barang ke mobil, travel pun belum langsung berangkat. Biasalah ya, selalu menunggu sampai penuh baru berangkat. Lantas, sambil menunggu travel berangkat kami memutuskan untuk mencari sarapan di sekitar stasiun ini. Cukup lama juga kami menunggu sampai akhirnya travel ini berangkat. Saya, Robiah dan Winda duduk bertiga di kursi paling belakang. Bang Dio duduk di kursi paling depan, di sebelah sopir. Sudah tidak terhitung lagi berapa ronde kami tidur di dalam mobil ini. Bangun, melihat sekeliling sebentar untuk memastikan berada di mana terus tidur lagi, bangun lagi, begitu lagi, lalu tidur lagi. Begitu saja sampai akhirnya kami berhenti di rumah makan di daerah Baturaja. Jam sudah menunjukan waktu makan siang. Lantas, kami bersegera turun dari mobil, capek juga di dalam mobil meskipun kerjaannya cuma tidur saja. Pinggang dan bokong terasa sangat kaku. Setelah makan, sempat-sempatnya saya buang air besar di rumah makan ini. Kebiasaan sekali. Hitung-hitung meninggalkan jejak.

Setelah makan siang, waktu tidur kami di dalam mobil ini tidak lagi banyak seperti sebelumnya. Kami sudah bisa bercerita, bahkan sesekali berbicara dengan penumpang lainnya. Sedangkan Bang Dio masih terlihat tidur di dalam mobil, terlihat dari kepalanya yang jatuh ke kanan dan ke kiri. Kami bertiga pun membicarakan ke mana tujuan kami setiba di Kota Palembang nanti dan bertanya di mana travel ini akan berhenti. Travel ini berhenti di sekitaran daerah Kertapati, berarti kami harus melanjutkan perjalanan kembali menuju rumah masing-masing. Bang Dio langsung pulang ke Mariana, Robiah dan Winda pun menuju Km. 5 dan saya menuju Simpang Bandara Lama untuk kemudian melanjutkan perjalanan kembali menuju rumah saya yang berada di Betung dengan menggunakan jasa travel yang ada di sana.

Kami seperti sibuk sendiri membicarakan bagaimana kami selanjutnya setelah turun dari travel ini, bahkan kami pun sibuk mengecek tarif go-car menuju lokasi kami masing-masing. Si sopir pun berinisiatif untuk mengantarkan kami menuju tujuan kami masing-masing dengan tambahan biaya Rp 25.000,-/orang. Seingat saya sih ongkos awal travelnya adalah Rp 125.000,-/orang jadi kami harus membayar Rp 150.000,-/orang sekarang. Alhasil, kami pun setuju daripada harus repot-repot turun dan menunggu kendaraan lain. Jadi, tujuan pertama adalah mengantar saya ke Simpang Bandara Lama karena saya takut kehabisan travel jika sudah kesorean. Batas maksimal travel di sana adalah waktu maghrib. Kami melewati Jalan Musi II untuk menghindari macet dan agar lebih dekat dengan tujuan saya.

Setiba di Simpang Bandara Lama, saya berpamitan dengan teman-teman yang berada di dalam mobil. Kalau tidak salah, sebentar lagi waktu menunjukan waktu maghrib. Syukurnya masih ada travel menuju Betung. Saya pun masih harus menunggu lagi di loket travel ini. Tidak jalan jika tidak penuh, motto para sopir travel di mana pun anda berada. Tiba di rumah pun menuju pukul 21.00 WIB. Alhamdulillah semuanya kembali ke rumah masing-masing dengan selamat. Setiba di rumah, saya langsung tidur kembali, mengingat besok saya harus kembali bekerja.

Beberapa foto di Kebun Raya Cibodas:
Ini setelah dari kantor LIPI Kebun Raya Cibodas.
 


Ini di awal-awal masuk Kebun Raya Cibodas, tidak jauh dari area flying fox.




1 comment: