Mau Cari Apa?

Tuesday 2 October 2018

A Journey to the Hidden Paradise (Surabaya-Waisai) #1

Siapa yang menyangka saya bisa menginjakkan kaki di tanah Papua? Saya pun tidak pernah menyangka sebelumnya. Alhamdulillah, salah satu mimpi saya terwujud sebelum nafas ini berhenti berhembus. Hal ini patut saya syukuri dalam hidup saya. Perjalanan dan doa yang panjang tidak pernah lelah saya lakukan, hingga saya mempunyai kesempatan untuk menginjakkan kaki saya di tanah Papua pada bulan September lalu.

Keliling Indonesia merupakan salah satu doa saya dalam shalat, keinginan tersebut tidak pernah absen dalam setiap doa saya. Seperti yang saya jelaskan di postingan saya sebelumnya, jika keliling Indonesia merupakan impian yang mustahil untuk dilakukan oleh seorang pemimpi kecil seperti saya. Maka seringkali saya merincikan doa saya untuk pergi ke Sabang dan Merauke. Ternyata Tuhan berkata lain, perjalanan saya tidak dilakukan di Merauke tetapi di Raja Ampat, Papua Barat. Saya bersyukur semuanya berjalan seperti dimudahkan oleh Tuhan. Ini adalah pertama kalinya saya mendaftarkan diri sebagai relawan (volunteer) di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yaitu Inavis (Indonesia Aspiring Volunteering Society). Kalian bisa membaca cerita persiapan saya sebelum berangkat di postingan sebelumnya, atau bisa juga langsung klik link ini.

Sebelumnya pun di kampus saya tidak pernah tergabung oleh organisasi apapun kecuali organisasi jurusan. Ini pertama kalinya saya mendaftar menjadi relawan (volunteer) dan langsung diberikan kesempatan untuk bergabung. Alhamdulillah.

Keberangkatan direncanakan pada tanggal 4 September 2018 pukul 20.00 WIB dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Saya berangkat dari rumah pada tanggal 2 September dengan menginap semalam di kosan kakak perempuan kedua saya di Kota Palembang. Besoknya tanggal 3 September saya menuju Surabaya pada pukul 10.45 WIB dengan menggunakan pesawat.

Di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, saya sempat berkenalan dengan seorang polisi yang bernama David. Dia sedang tugas di bandara pasca Asean Games XVIII kemarin. Dia yang menyapa saya pertama kalinya, dia tertarik karena saya yang membawa carrier. Dia menanyakan tujuan saya hendak ke mana, saya menjawab akan ke Papua dan Banyuwangi (Kawah Ijen). Ternyata dia pernah mendaki Ijen, dia menceritakan pengalamannya pada saat mendaki Ijen. Dia mengatakan jika trek Ijen sangat curam apalagi pada saat turun ke arah Blue Fire-nya. Kemudian dia memanggil rekan kerjanya, seorang wanita. Kami pun berkenalan, namanya Ica, dia seorang polwan yang bertugas di bagian SIM Polres Banyuasin. Daerah kami kerja sama, yaitu sama-sama di Pangkalan Balai.

Ternyata Ica ini pernah sampai ke Puncak Cartenz tahun lalu. What the hell. Saya iri, sumpah! Masih muda tetapi sudah sampai ke Puncak Cartenz, wanita lagi. Jadi, Ica ini cerita ke saya jika semua pendakiannya ini dibiayai oleh Polri yang juga bekerjasama dengan Eiger. Mereka diseleksi terlebih dahulu dan mengikuti latihan fisik selama kurang lebih 3 bulan. Semua gear mereka pun dari Eiger plus mendapatkan voucher belanja 3 juta di Eiger. Rejeki orang sih siapa yang bisa menebak ya. Ica cerita ada sekitar 20 orang yang mengikuti pendakian tersebut dan memang dari Polri hanya mengajak para wanita saja.

Ketika saya melihat video dia mendaki Puncak Cartenz, wow, it's awesome, man. Gilaaaaa, itu keren sekali. Ada video yang menunjukkan mereka sedang melewati tali kecil untuk menyebrang beberapa bagian di Puncak Cartenz, dan di bawahnya itu adalah jurang nan dalam. Ica juga bilang kalau sempat ada temannya yang mengompol ketika menyebrangi tali tersebut. Ya gila saja sih jika kalian tidak takut atau merinding melihat videonya ataupun membayangkan kalian melewati tali tersebut. Satu lagi cerita dan teman yang saya dapatkan dari perjalanan saya menuju Papua, Alhamdulillah. Ya sudah, tinggalkan sejenak cerita Ica dan Puncak Cartenz.

Balik lagi ke perjalanan saya menuju Papua. Saya sampai di Surabaya kurang lebih pukul 12.35 WIB, menunggu bagasi jadilah pukul 13.00 WIB saya baru keluar dari bandara. Saya memesan penginapan di dekat Pelabuhan Tanjung Perak, yaitu Capsule Homestay yang berada di daerah Sawahan. Saya sempat searching dan diberitahu oleh Suhendra (delegasi dari Medan) bahwa di Bandara Juanda ada Damri yang bisa mengantarkan langsung ke Pelabuhan Tanjung Perak. Saya berencana untuk turun di Pelabuhan Tanjung Perak saja dengan menggunakan Damri dan lanjut menggunakan go-jek menuju penginapan. Ternyata setelah saya keluar bandara dan bertanya di loket Damri, si bapak penjaga bilang bahwa saya ketinggalan Damri yang menuju Pelabuhan Tanjung Perak. Damri menuju ke sana berangkat sejam yang lalu, yaitu pukul 12.00 WIB.

Si bapak bilang kalau sekarang Damri ke Pelabuhan Tanjung Perak tidak setiap jam berangkat dan kemungkinan Damri tadi adalah Damri terakhir yang menuju pelabuhan. Si bapak menyarankan saya untuk naik Damri jurusan Terminal Purabaya (Bungurasih) saja, katanya nanti sesampai di sana bisa lanjut go-jek. Saya menerima usulan bapak tersebut karena memang saya tidak tahu lagi harus naik apa untuk keluar bandara dengan harga murah kecuali Damri. Saya naik Damri menuju Terminal Purabaya (Bungurasih) dengan ongkos 25 ribu. Harga ongkosnya lebih mahal daripada Damri Rajabasa menuju Way Kambas yang hanya 35 ribu dengan lama perjalanan 2 jam sedangkan jarak bandara dan Terminal Purabaya (Bungurasih) ini tidak sampai 1 jam perjalanan. Ya, seperti biasa sih, transportasi bandara kan memang mahal-mahal ya.

Saya sempat kaget ketika Damri ini berhenti di sebuah terminal. Baru saja mata saya ingin tidur dan tiba-tiba bus berhenti. Saya kira hanya menurunkan beberapa penumpang saja. Iya, karena jaraknya yang menurut saya tidak terlalu jauh tadi. Ternyata ini adalah tempat pemberhentian terakhirnya, yaitu Terminal Purabaya (Bungurasih).

Ketika penumpang lain mulai turun satu per satu, saya ditegur oleh bapak yang duduk di sebelah saya. “Dek, turun di sini kalau mau lanjut lagi.” Saya pun langsung mengiyakan si bapak dan buru-buru mengangkat carrier saya untuk segera turun. Saya berjalan mengikuti penumpang lainnya dan mata saya pun tergoda oleh pemandangan seorang ibu yang sedang makan bakso dengan nikmatnya. Saya pun membelokkan kaki saya ke arah salah satu warung bakso yang ada di dalam terminal tersebut. Baksonya seharga 16 ribu dan es teh manis seharga 6 ribu. Bakso dan es tehnya sama-sama enak, bukan karena saya kelaparan tetapi memang rasanya enak. Nama warungnya Depot Soto Sakinah Surabaya tetapi malah menjual bakso. Unpredictable. Saya juga membeli air mineral botol ukuran sedang di warung sebelahnya dengan harga 5 ribu.
Bakso penghilang lapar
Setelah makan, saya mencari jalan keluar dari terminal ini untuk segera memesan go-jek. And you know what? Saya sampai beberapa kali bolak-balik karena kebingungan di mana letak jalan keluar terminal ini. Saya sampai berulang kali mengikuti penumpang lain yang sedang berjalan, ada yang ternyata berjalan ke arah parkiran mobil, ada yang menuju kamar mandi, ada juga yang berhenti untuk menunggu seseorang. Pada akhirnya ada satu mbak-mbak yang berjalan menuju pintu keluar, kali ini saya tidak salah mengikuti orang. Norak sekali, sumpah! Sesampai di gerbang terminal, saya langsung segera memesan go-jek. FYI, di depan terminal ini sudah banyak sekali driver go-jek dan grab yang duduk-duduk sambil mencari dan menunggu penumpang. Berhenti sebentar di sana pun dikenakan tarif seribu rupiah. Di sana pun ada halte bagi para penumpang yang sedang menunggu ojolnya datang dan pastinya aman.

Jarak terminal ini dengan penginapan saya ternyata lumayan jauh, saya menggunakan go-pay hanya 14 ribu. Saya yakin sekali jika di Palembang, jarak sejauh ini pasti tarifnya sudah melebihi 14 ribu. Saya sempat juga melewati ikon Surabaya (Hiu dan Buaya) di depan Kebun Binatang Surabaya dalam perjalanan menuju penginapan. Penginapan ini mudah dicari kok tetapi memang agak masuk ke dalam. Jika melihat google maps sih lokasinya akurat. Ternyata penginapan ini berada di dalam deretan toko-toko alat bengkel dan di sekitarnya tidak tampak warung-warung makan kecuali makanan gerobak dorong seperti bakso, siomay, dan lain-lain.

Sesampainya saya di Capsule Homestay, tidak ada petugas di meja resepsionisnya. Saya panggil-panggil pun tidak ada yang menyahut, jadi saya putuskan untuk menelpon ke nomor penginapan itu saja. Ketika telpon tersebut berdering, barulah ada orang yang keluar dari dalam, seorang pria keturunan Ambon, mungkin, ini hanya prediksi saya saja. Iya, saya mengakui bahwa suara saya kalah kerasnya dengan suara dering telepon penginapan tersebut. “Saya yang telpon mas, gak usah diangkat. Saya Tri Melia mas, yang pesan lewat traveloka.” Setelah nomor KTP saya dicatat, saya segera diantarkan ke kamar yang saya pesan, kamarnya berada di lantai 2.

Saya mendapatkan kamar yang hanya berisi satu ranjang kecil dan satu kursi plastik tetapi ada AC, sesuailah dengan harganya yang hanya 80 ribu-an. Seperti biasa, rutinitas saya ketika sampai di sebuah penginapan adalah keliling penginapan dengan membuat video pendek yang kemudian akan saya upload di media sosial saya, salah satunya whatsapp. Beberapa menit setelah saya mengupload video tersebut, Nurlinda (Nday) yang merupakan salah satu teman divisi saya selama pengabdian nanti mengirimkan pesan ke saya. Dia menanyakan keberadaan penginapan saya, dengan senang hati saya menjawabnya dan menawarkan penginapan ini juga kepadanya. Kebetulan Nday juga sedang bersama salah satu delegasi lainnya yang bernama Amirush Shaffa, anggota divisi pendidikan. Mereka sama-sama berangkat dari Bandung dan sedang berada di Kampung Buku untuk membeli beberapa buku yang nantinya akan didonasikan ke tempat pengabdian kami.
Pada sore harinya, Nday dan Shaffa akhirnya memutuskan untuk menginap juga di Capsule Homestay, sama seperti saya. Setelah mereka sampai di penginapan, kami pun berkenalan ala kadarnya saja dan memutuskan untuk mencari makan sore bersama setelah si Nday mengirimkan paket buku ke temannya melalui go-jek. Iya, saat Nday berada di Kampung Buku, teman-teman kuliahnya menitip buku kuliah di Nday. Ternyata si Nday harus ikut dengan driver go-jeknya ke JNE dan baru balik lagi ke penginapan saat maghrib. Yasudah, kami memutuskan untuk keluar mencari makan setelah shalat maghrib. Nday sempat bertanya ke penjaga penginapan arah mana yang banyak menjual makanan, si penjaganya menganjurkan kami untuk belok ke kiri dari arah penginapan.

Setelah kami selesai shalat maghrib, kami mulai keluar penginapan dengan tujuan utama apotek terlebih dahulu karena Shaffa dan Nday ternyata belum membeli doxycycline (antibiotik malaria). Harga doxycycline di sini hanya Rp 4.500,- sedangkan di apotek dekat rumah saya seharga Rp 6.000,-. Klasik sih, harga barang-barang memang lebih murah di Pulau Jawa. Dari apotek, kami menyebrang ke sisi jalan lainnya. Mata kami menemukan minimarket di sana, kami berbelanja beberapa kebutuhan kami yang dikira masih kurang lengkap seperti makanan, cemilan maupun obat-obatan lainnya. Yang membuat heran di sini, Shaffa sepertinya hobi mengoleksi obat maag. Dari apotek sampai ke minimarket ini, yang tidak ketinggalan dia beli adalah obat maag.

Di depan minimarket tersebut banyak sekali pedagang warung-warung tenda yang berjajar, dari pecel lele, bakso, nasi goreng, mie tumis, mie ayam sampai warung es. Kami memutuskan untuk makan mie ayam Jakarta. Iya, sekali lagi makanan di Indonesia selalu memakai embel-embel nama daerah. Soto Lamongan, Sate Madura, Sate Padang, Coto Makassar, bahkan Mie Ayam Jakarta ini. Dengan harga 23 ribu, mie ayam ini termasuk enak. Teman saya yang berada di Surabaya pun mengatakan bahwa warung Mie Ayam Jakarta yang kami makan tadi cukup terkenal di Surabaya. Untung enak, kalau tidak, pasti saya makan lagi yang lain.
Saya, Nday dan Shaffa saat berada di warung tenda Mie Ayam Jakarta di Daerah Sawahan, Surabaya


Makan malam selesai, kami kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat. Sebelumnya kami sudah sepakat bahwa besok paginya kami akan pergi jalan-jalan di sekitar penginapan pada pukul 10.00 WIB. Kami pikir waktu 3 jam cukup untuk kami keliling sebentar, sebelum akhirnya menuju Pelabuhan Tanjung Perak pada pukul 13.00 WIB.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment