Mau Cari Apa?

Sunday 17 March 2019

Bukit Besak, 20 Januari 2019

Ini adalah kali kedua saya mendaki Bukit Besak Lahat. Pendakian pertama saya ke sini dilakukan pada bulan September tahun 2015 lalu. Pendakian pertama yang saya lakukan setelah saya menjalani operasi tulang pada tiga jari kaki kiri saya yang patah waktu Kuliah Kerja Nyata (KKN) sewaktu saya masih menjadi mahasiswa dulu. Mungkin untuk cerita pendakian tersebut selengkapnya akan saya tuliskan di postingan saya selanjutnya. Sebenarnya sih cerita tersebut sudah ada di arsip blog saya, dasar saya saja yang pemalas!

Jadi, kali ini saya mendaki Bukit Besak bukan hanya sekedar untuk mendaki saja. Ada misi lain yang saya dan kawan-kawan saya bawa kali ini. Kami tergabung dalam organisasi konservasi lingkungan "Lindungi Hutan" regional Palembang (Sumatera Selatan). Dengan tekad untuk menjaga alam dan menghijaukan Indonesia, kami berniat untuk membersihkan Bukit Besak dari sampah. Dalam ingatan saya pada tahun 2015 silam, Bukit Besak dapat saya katakan kotor karena sampah-sampah di sana memang sangat banyak. Tidak jauh berbeda dengan keadaan gunung-gunung lainnya di Indonesia yang penuh dengan sampah. Setelah mengurus izin sana sini pada bulan Desember, akhirnya kami sudah mendapatkan izin untuk melakukan kegiatan tersebut. Kegiatan kami lakukan pada tanggal 19-20 Januari 2019 lalu. Sangat disayangkan, anggota yang bisa bergabung dalam kegiatan ini hanya ada 4 orang saja, yaitu saya, Erlina, Yudi dan Umam.

Setelah mengikuti COP School Batch 9 di Yogyakarta, saya baru pulang ke Palembang pada tanggal 18 Januari malam. Sampai di bandara Palembang tepat pukul 00.00 WIB tanggal 19 Januari 2019 dan untuk pertama kalinya saya menginap di bandara. Karena Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II ini tidak beroperasi 24 jam, jadi bandara ditutup setelah penerbangan terakhir hari itu. Kebetulan penerbangan saya adalah penerbangan terakhir malam itu. Saya sudah izin kepada pihak security bandara untuk bermalam di bandara dan saya disarankan untuk tidur di dalam masjid bandara saja. Saya tidur dipinggiran masjid bandara dengan bawaan yang lumayan berat, total berat semua barang yang saya bawa adalah 26 kg. Sumpah, ini perjalanan saya yang sangat rempong. Bagaimana tidak? Saya keluar dari rumah pada tanggal 6 Januari 2019 lalu dan harus membawa barang-barang keperluan selama di Yogyakarta, belum lagi ditambah dengan barang-barang yang saya beli selama di Yogyakarta. Saya membawa dua tas besar dan satu kardus.
Kira-kira beginilah barang bawaan saya.
Sekitar pukul 04.50 WIB adzan shubuh sudah berkumandang di masjid ini. Saya pun terbangun, kebetulan saya sedang tidak melaksanakan shalat jadi saya membereskan barang-barang saya dan langsung keluar dari masjid. Sambil menunggu stasiun LRT dibuka, saya menyempatkan diri untuk membeli susu dan air mineral terlebih dahulu di mini market dekat stasiun LRT. Saya menuju rumah Erlina yang berada di Kompleks OPI Jakabaring menggunakan LRT yang berangkat pada pukul 06.00 WIB dari stasiun bandara. Erlina sudah berada di Lahat dengan menumpang menginap di rumah temannya Umam. Dan saya seperti maling masuk ke rumahnya, seperti rumah sendiri. Masuk dan langsung menuju kamarnya untuk packing ulang tanpa peduli siapa yang ada di rumahnya. Ingat, anggap saja seperti rumah sendiri.

Karena anggota Lindungi Hutan Palembang yang bisa bergabung dalam kegiatan ini hanya 4 orang saja maka saya mengajak teman-teman jurusan saya sewaktu kuliah dulu, yaitu Indri, Lili dan Yati. Kenapa saya mengajak mereka? Karena Indri selalu memesan untuk diajak mendaki jika saya mendaki lagi. Iya, memang seingin itu dia mendaki. Sudah berapa pendakian yang terlewatkan karena waktu saya dan Indri yang tidak sesuai. Saya merasa seperti seorang peri cantik yang mengabulkan permintaan Indri. Lalu, Yudi pun mengajak 1 temannya dari Muara Dua, yaitu Erlan. Saya dan Yati berangkat dari Palembang menggunakan kereta api sekitar pukul 09.30 WIB, Indri dan Lili menunggu di stasiun Prabumulih dan kemudian bergabung dengan kami di satu kereta api. Yudi dan Erlan berangkat dari Muara Dua menggunakan motor. Lalu, Erlina dan Umam sudah menunggu di stasiun Lahat.

Sepanjang perjalanan menuju Lahat saya habiskan dengan tidur. Iya, bagi tukang tidur seperti saya, saya merasa waktu tidur saya kurang. Apalagi sepanjang perjalanan di kereta api, Pak Pisnin, sopir angkot yang nantinya akan membawa kami ke Bukit Besak tidak henti-hentinya menelepon saya. Cuma sekedar menanyakan kami sudah berada di mana. Padahal sudah saya katakan kepada beliau bahwa kemungkinan kami sampai di stasiun sekitar jam 2-3 siang. Pada akhirnya saya tidak bisa tidur kembali karena diteror Pak Pisnin. Ternyata Yati membawa nasi goreng telur buatan ibunya dan saya mendapatkan jatah juga. Alhamdulillah, kebetulan perut saya sudah sangat lapar karena memang saya belum makan apa-apa dari kemarin malam. Untungnya nasi goreng buatan ibu Yati ini enak sekali meskipun menurut saya sedikit pedas. Eh, ternyata Lili tidak bisa makan telur. Alhamdulillah, dapat jatah telur satu lagi.

Seberhentinya kereta di Stasiun Lahat, Indri dan Lili langsung buru-buru turun dari kereta dan meninggalkan saya dan Yati. Apa-apaan mereka ini, belum apa-apa sudah berani main tinggal saja. Setelah dicari-cari ternyata Indri menghampiri ibu-ibu yang berjualan di pinggir pagar stasiun kereta. Saya bertanya dengan Lili, ternyata Indri mencari bongkol, saudara-saudara. Ya Allah, kenapa sih tiba-tiba ingin makan bongkol? Apa karena adik-adik di kereta yang duduk di depan saya tadi makan bongkol? Ya, intinya Indri ini kelaparan dan nasi goreng telur buatan ibu Yati tadi belum dimakannya sama sekali.

Ketika keluar dari stasiun, Erlina dan Umam sudah seperti gembel duduk di pinggiran stasiun dengan perintilan barang dan plastik. Mengingat Indri kelaparan jadi saya berniat untuk mencari warung makan terlebih dahulu. Eh, lagi dan lagi Pak Pisnin kembali menelepon. Beliau bilang jika dia sudah menunggu di dekat pagar luar stasiun. Indri terpaksa harus menahan rasa laparnya kembali. Seketemunya dengan angkot Pak Pisnin, saya baru tahu kenapa Pak Pisnin menelepon terus. Ternyata beliau membawa penumpang lain selain kami. Di dalam angkotnya sudah ada 5 penumpang, 3 bapak-bapak dan 2 ibu-ibu yang hampir menjadi nenek-nenek. Indri yang sedari tadi kelaparan harus menahan rasa laparnya kembali dan harus menunggu sampai tiba di Simpang Gajah. Saya baru mengetahui jika Indri tidak bisa makan di tempat bergoyang seperti kereta api, mobil, kapal dan lain-lain, dia harus makan dalam keadaan tenang, damai dan di tempat yang diam.

Di Simpang Gajah pun kami harus berhenti kembali karena harus menunggu Yudi dan Erlan sampai. Alhamdulillah, selama menunggu Yudi, Indri bisa makan dalam keadaan tenang. Tidak lama menunggu, Yudi dan Erlan pun sampai di Simpang Gajah. Setelah menitipkan motor Yudi di rumah kenalannya Umam, Indri dan Yati masih makan nasi goreng. Melihat mereka sedang makan, saya jadi iseng untuk mengerjainya. Dengan nada suara yang sedikit keras, saya bilang ke mereka "Nah, masih makan. Ayo cepat, Yudi sudah datang, nanti kita kesorean mendakinya." Di luar dugaan, mereka jadi terburu-buru makannya dan langsung berlari kecil untuk segera naik ke angkot. Keisengan saya berhasil. Kami pun langsung melanjutkan perjalanan kembali menuju Bukit Besak.

Perjalanan dari stasiun Lahat menuju Desa Perangai (lokasi Bukit Besak) menempuh kurang lebih 2 jam perjalanan dengan kondisi jalan yang tidak terlalu bagus dan sempit. Dari Muara Dua, Yudi dan Erlan ini membawa plang yang nantinya akan kami pasang di Bukit Besak dan mereka juga membawa satu tenda. Ya, bayangkan saja harus membawa carrier sebesar dan seberat itu selama perjalanan dan bermotor lagi. Mereka sok-sokan mau gelantungan di angkot padahal tempat duduk ada. Kami paksa mereka untuk duduk di dalam. Oh iya, dari tadi saya menyebut Simpang Gajah. Kenapa diberi nama Simpang Gajah? Karena di persimpangan ini terdapat 2 patung gajah dan simpang inilah akses menuju Desa Perangai (Bukit Besak), juga akses menuju habitat gajah yang ada di Lahat. Jika beruntung, kalian bisa melihat gajah di satu titik habitat mereka yang berada di sekitaran jalan menuju Desa Perangai, seperti yang saya temukan waktu tahun 2015 lalu. Saya melihat seekor gajah yang sedang asyik makan, yang menjadi pertanyaan di mana gajah-gajah lain? Padahal gajah dikenal sebagai hewan yang hidup berkelompok tetapi ini saya melihat gajahnya sendirian, tidak dengan kelompoknya.

Selama perjalanan, tidak henti-hentinya kami bercanda dan tertawa. Karena memang Indri atau sering dipanggil boy ini sangat kocak sekali, saudara-saudara. Sampai bapak-bapak yang berada di angkot ini terlihat terganggu dengan suara kami. Bukan bermaksud tidak sopan tetapi susah sekali untuk menahan tawa ketika bersama mereka. Apalagi ketika Indri dengan polosnya bertanya dengan ibu-ibu yang hampir menjadi nenek-nenek tersebut. Bayangkan saja, masa Indri bertanya seperti ini dengan mereka, "ibu mau mendaki Bukit Besak juga ya?" Oh ayolah Indri, dilihat dari penampilannya saja kita sudah bisa tahu jika mereka ini ibu-ibu yang habis belanja dari pasar dan mau pulang ke rumah mereka yang berada di dekat Bukit Besak. Si ibu hanya tertawa saja. Tetapi memang, selama saya jalan dengan Indri, dia ini hobi sekali bertanya, apapun ditanya dan dikomentari.

Kami sampai di rumah Kepala Desa Perangai sekitar jam setengah 5 sore, kami packing ulang dan menitipkan beberapa barang yang sekiranya tidak akan terpakai di atas seperti baju yang berlebihan ataupun alat mandi. Carrier yang saya bawa diisi dengan dua tenda kapasitas 4 orang, satu sleeping bag dan matras, satu botol air mineral besar, satu kompor gas kecil beserta tabung gasnya dan beberapa baju saya dan Erlina. Carrier yang dibawa Yudi berisikan satu tenda kapasitas 4 orang dan 8 plang kayu yang akan kami pasang nantinya di atas, serta perlengkapan pribadi dia dan Erlan. Erlina membawa tas yang berisikan nesting dan logistik. Indri membawa tas yang berisikan pakaiannya dan dua botol air mineral besar. Selebihnya membawa perlengkapan pribadi mereka sendiri. Sewaktu perjalanan menuju Bukit Besak saya menyeletuk ke mereka bahwa perjalanan ini tidak ada safety-safety-nya, Indri dan Lili tidak ada sleeping bag, orang delapan tetapi hanya ada 3 senter dan 3 matras, lalu Indri dan Lili hanya memakai sepatu lari. Kocaknya mereka dengan enteng menjawab seperti ini, "Lah, memang gak ada safety-nya kami nih Mel, nama aku Indri, ini Yati, nah ini Lili. Sudah lama kenal masa gak tau dengan nama kami." Cerdas! Saya dan Erlina pun tertawa terbahak-bahak. Ada untungnya membawa mereka, yaitu menjadi tukang lawak selama perjalanan.

Pukul 17.00 WIB kami sudah selesai packing ulang dan langsung segera berpamitan dengan Bapak Kades beserta istrinya. Alhamdulillah bapak dan ibu kades ini baik sekali dengan kami. Selagi kami sedang packing, bapak Kades mengurusi surat izin pendakian kami. Surat izin pendakian pun sudah kami kantongi dan membawa 4 kayu lagi sebagai tiang plang nantinya. Itu semua pun sudah disiapkan oleh bapak Kades. Sungguh baik hati sekali, terima kasih banyak bapak. Kami pun berpamitan dengan bapak dan ibu Kades, kami dibekali air mineral untuk bekal minum kami nanti oleh mereka. Sekali lagi, terima kasih banyak.
Foto di jembatan gantung, minus Lili.
Trek perjalanan tidak jauh berbeda dengan tahun 2015 lalu, yang mengagetkan adalah ketika setelah melewati jembatan dan sedikit menaiki tanjakan, jalan sudah menjadi persimpangan, ada jalan besar yang membelah jalan kecil menuju Bukit Besak. Kemungkinan orang membuka lahan perkebunan atau malah membuka pertambangan batu bara baru. Tidak tahu lagilah, semakin ke sini, semakin banyak pula orang-orang yang memikirkan materi. Iya, semuanya memang butuh uang, semuanya harus hidup dan bertahan hidup, apapun dan bagaimanapun caranya. Tetapi alangkah baiknya jika tidak merusak ekosistem lingkungan, tidak hanya manusia yang tinggal di Bumi ini, masih banyak makhluk hidup lainnya dan kita saling membutuhkan. Tikus sawah semakin banyak karena tidak ada predator lagi yang memakan mereka, ketemu ular langsung dibunuh, ketemu elang langsung ditangkap dan dijual. Ya begitu saja seterusnya, sehingga manusia saling menyalahkan. Parahnya, manusia serakah menyalahkan alam bukan menyalahkan diri mereka sendiri.

Trek perjalanan melewati sawah, jembatan gantung, perkebunan karet dan perkebunan kopi hingga akhirnya berubah menjadi hutan yang tidak terlalu lebat dan sampailah ke puncak. Dari perkampungan menuju warung yang berada di Pos 1 memakan waktu 1 jam, kami istirahat di warung pada pukul 18.00 WIB. Kebetulan Yudi dan Erlan juga belum makan, jadilah kami menunggu mereka makan terlebih dahulu. Di sini hanya menjual mie instan, beberapa minuman dan snack. Harganya didominasi dengan harga Rp 5.000,-. Kalian tahu apa yang pertama kali Indri dan teman-teman pesan setelah sampai di warung ini? Mereka mencari extra joss tetapi yang ada hanya kuku bima, jadilah mereka memesan es kuku bima, saudara-saudara, mengalahkan cowok saja. Yang cowok saja tidak memesan kuku bima. Syuper syekali.
Yati pun ternyata memesan mie goreng dan Erlina sempat-sempatnya boker di warung ini. Kesempatan sekali! Lalu saya? Hanya meminta teh manis yang dipesan Erlina, cukup, hanya itu saja sudah cukup. Keadaan warung ini pun masih sama dengan tahun 2015 lalu, yang membedakan hanya dinding tiang-tiang warung ini sekarang dipenuhi oleh coretan alay. Biasa, vandalisme.
Yudi, saya dan Erlina. Wajah saya gosong setelah pulang dari Jogja. Jogja memang istimewa!
Sebelum melakukan perjalanan kembali, saya sempat mengisi botol minum kami yang sudah habis di warung ini. Saya dibantu oleh pendaki lain untuk mengisi botol minum ini. Padahal saya sendiri pun bisa mengisinya tetapi inilah salah satu hal yang saya sukai dari mendaki, tanpa mengenal siapa mereka dan latar belakang seseorang, mereka dengan senang hati saling menolong. Sebelumnya juga kami sudah mengisi botol minum dari air sungai yang mengalir di tengah-tengah perjalanan kami tadi. Antisipasi saja karena di puncak tidak ada sumber air. Pukul 18.30 WIB kami melanjutkan perjalanan dengan berdoa bersama terlebih dahulu. Ini kedua kalinya saya mendaki pada malam hari setelah mendaki di Kawah Ijen. Gerimis sering kali datang dan pergi menghampiri kami, tidak sampai membuat baju dan celana basah kuyup tetapi cukup membuat trek semakin licin. Bedanya lagi, trek menuju puncak sudah dipasang tangga-tangga yang memudahkan kami untuk mendaki. Pada tahun 2015 lalu, tangga-tangga ini belum ada dan kami mendaki dengan penuh kecemasan karena trek yang terjal dan licin, dan hanya ada tali pembantu yang sebenarnya tidak terlalu membantu juga.

Perjalanan menuju puncak memakan waktu sekitar 2 jam. Selama perjalanan, Indri selalu mencari saya, "Mana Mella? Aku mau bareng dia aja, dia ada senter." Oke, saya dicari hanya karena memegang senter. Indri tidak tahu mata saya juga kurang bagus jika malam hari, semacam buta ayamkah? Suruh siapa juga tidak membawa senter. Orang 8 dan hanya ada 3 senter dan pendakian dilakukan pada malam hari. Hebat sekali! Yudi yang berada paling depan memegang senter, lalu dibarisan kedua ada Erlina, ketiga ada Yati yang juga memegang senter, di belakang Yati ada Lili, setelah Lili ada saya, Indri berada tepat di belakang saya dan dua di belakang ada Erlan dan Umam yang mengandalkan senter dari hape. Jadi, selama perjalanan mendaki saya harus menyenteri jalannya Indri biar terang, cukup wajahnya saja yang gelap, jangan sampai jalan hidupnya pun ikut gelap. Kasihan! Setelah sebentar lagi sampai ke puncak, saya pamit dengan Indri untuk mendaki duluan karena saya membawa tenda.

Kami membawa 3 tenda dengan total 8 orang. Mewah sekali! Padahal sebenarnya 2 tenda saja sudah cukup untuk kami berdelapan. Tetapi karena kepikunan saya, terjadilah hal ini. Saya lupa jika Yudi akan membawa satu tenda jadi seharusnya kami bisa menyewa satu tenda saja tetapi ini kami malah menyewa 2 tenda lagi dengan kapasitas 4 orang. Kami menyewa tenda, kompor dan nesting di Edelweis Outdoor Store yang berada di Puncak Sekuning, Palembang. Kebetulan saya kenal dengan Bang Rinchan yang menjaga Edelweis jadi saya menghubungi dia untuk menyewa alat-alat ini dan yang mengambil barang-barang tersebut adalah Erlina. Berhubung dia tinggal di Palembang kan ya. Jadi, Erlina pergi berlibur ke Pagar Alam dengan keluarganya terlebih dahulu sebelum ke Lahat dengan membawa alat-alat sewaan tadi.

Akibat ke-sok tahuan saya dan Erlina mendirikan tenda, jadilah tenda yang kami dirikan jomplang. Setelah sekian kali diotak-atik, diputar-putar, pasak dipasang dan dicabut kembali ke tanah, berdebat berulang-ulang kali, hasilnya tetap sama, jomplang. Ternyata yang salah adalah frame yang kami pasang. Frame untuk teras tenda malah kami pasang di badan tenda. Karena terlalu malas untuk membongkar tenda kembali dan berhubung hari juga sudah malam ditambah dengan gerimis maka kami membiarkan satu tenda tersebut begitu. Awal rencana, tenda jomplang tersebut akan kami gunakan untuk meletakkan barang-barang saja tetapi karena keadaan Bukit Besak malam itu sangat ramai, saya dan Erlina memutuskan untuk tidur di tenda tersebut. Karena Erlina trauma kehilangan barang pada saat mendaki Gunung Dempo lalu, dia meminjam tas temannya tetapi malah hilang di Gunung Dempo. Terpaksa dia harus mengganti tas tersebut. Memang apes hidupnya.
Baju basah dikarenakan gerimis membuat mata saya semakin mengantuk dan kelelahan. Erlina dan Lili masih saja ingin memasak untuk makan malam dan masaknya di tenda jomplang yang saya dan Erlina tempati. Saya tidak berniat untuk makan malam tetapi tenda menjadi penuh karena Yudi, Erlan dan Yati bergabung untuk makan. Terpaksa saya harus bangun dan duduk untuk memaksimalkan tempat. Umam dan Indri tidak bergabung untuk menikmati makan malam. Entah, katanya Umam tidak makan malam, mungkin diet atau apa sedangkan Indri sudah tertidur. Sepertinya dia kelelahan sekali. Malam ini kami kehabisan air minum dan terpaksa harus meminum air yang saya isi dari warung pos 1 tadi. Air tersebut berasal dari aliran air kamar mandi warung. Rasa airnya parah sekali. Karena terpaksa, ya tidak apa-apalah daripada dehidrasi. Eh, ternyata saya baru sadar, di tas saya masih ada satu botol besar air lagi. Botol air ini kami isi dengan air aliran sungai. Ternyata airnya lebih enak dibandingkan dengan air yang dari warung tadi. Sial, coba dari tadi minum air ini saja. Setelah makan malam selesai, semuanya kembali ke tenda masing-masing. Yati, Lili dan Indri dalam satu tenda, Umam, Yudi dan Erlan di tenda lainnya, lalu saya dan Erlina harus menempati tenda jomplang ini. Sialnya, ditengah-tengah tenda ada tunggul pohon lagi. Anggap saja untuk membentuk tulang pinggang yang ideal nan melengkung.

Entah jam berapa, saya sempat terbangun karena mendengar suara Yati dan Lili yang sedang kebingungan mau buang air kecil di mana. Tentu saja, saya melanjutkan tidur kembali dan angin malam sangat terasa sekali di dalam tenda ini. Saya sampai tidur dengan posisi meringkuk seperti udang. Tidak lama saya tidur, saya kembali mendengar suara Yati. Kali ini saya mendengar mereka bicara jika tenda kami tertiup angin dan mereka berusaha untuk memperbaikinya tetapi tidak bisa. Masuklah mereka ke tenda mereka dan ternyata Erlina pun terbangun. Dia mengajak saya untuk membenarkan tenda. Yang benar saja, sesungguhnya saya sudah sangat mager untuk keluar tenda tetapi karena suara berisik flysheet yang tertiup angin kencang dan juga angin semakin merajalela masuk ke tenda kami. Akhirnya saya dan Erlina pun keluar tenda. Betapa terkejut dan terheran-heran kami melihat kondisi tenda kami dari luar. Bagaimana bisa kami tidur di tenda yang tidak ada bentuknya sama sekali seperti tenda ini?

Kami pun tertawa, menertawakan kebodohan kami memasang tenda. Untung saja kami tidak melayang bersama tenda ini ditiup angin yang memang sedang kencang-kencangnya. Tersisa satu atau dua pasak lagi yang terpasang, jika semuanya lepas, bisa jadi flysheet tenda kami terbang entah ke mana. Masih ada untungnya malam itu, untung saja tidak hujan. Dirasa tenda sudah cukup aman untuk dihuni, kami buru-buru masuk kembali ke tenda. Dingin bro! Berbanding terbalik dengan cuaca di saat matahari sudah terbit. Meskipun sebuah bukit, di waktu ada matahari cuaca di Bukit Besak ini lumayan panas. Cuacanya hampir sama seperti di perkampungan bawah, malah menurut saya lebih panas dibandingkan cuaca di desa bawah. Mungkin pengaruh batu bara. Ini murni ke-sok tahuan saya ya.

Sinar matahari mulai merayap masuk ke dalam tenda tetapi mata dan badan enggan untuk bangun dari tidur. Dari pendengaran saya pun, teman-teman yang lain belum ada yang bangun juga. Tetapi tiba-tiba ada suara perempuan sangat keras yang tertuju ke arah tenda saya dan Erlina.
"Yudi.. Yudi.. Bangun oo, sudah siang ini."
Kami masih terdiam, mencoba mencerna apa yang barusan kami dengar. Yudi mana yang perempuan ini maksud? Yudi Setiawan-kah? Yudi yang berada di tenda sebelah kami ini? Perempuan itu bersuara kembali, "Yudi.. Oi Yudi, bangun oo."
Sontak saya refleks membalas suara perempuan tersebut, "Yudi di tenda sebelah mbak, bukan di dalam tenda ini."
Perempuan itu bersuara kembali, "Ooh.. Tenda yang mana, mbak? Yudi oo Yudi."
Saya mendengar perempuan tersebut ke arah tenda Indri, Yati dan Lili dan memulai memanggil nama Yudi kembali. Saya teriak lagi dari dalam tenda, "Tenda satunya lagi mbak, bukan tenda itu." Sedikit kesal sih, pagi-pagi sudah mengacau hari orang saja. Saya pun memanggil Yudi dari dalam tenda, "Yudi, ada temannya yang nyari." Perempuan tersebut masih saja memanggil-manggil Yudi. Sialnya, Yudi lama sekali merespons. Ketika perempuan itu sudah berada tepat di depan tenda Yudi. Yudi hanya berkata, "Yudi-nya gak ada." Sudah, cuma itu saja yang dikatakan Yudi. Saya yakin perempuan tersebut pasti kecewa. Benar saja, perempuan itu pergi entah ke mana.

Niat untuk melanjutkan tidur sudah punah karena adegan pagi ini. Saya pun keluar dari tenda dan mencoba membangunkan yang lainnya. Yati, Indri dan Lili ternyata sudah bangun. Tidak lama kemudian, rombongan cowok pun keluar dari tenda. Saya pun langsung menanyakan kepada Yudi, siapa perempuan yang teriak-teriak tadi. Ternyata Yudi pun tidak tahu, dia juga tidak sadar saat menjawab "Yudi-nya gak ada" tadi. Kocak! Erlina berniat untuk memasak sarapan pagi ini dan kami kehabisan air. Saya dan Yudi pun mencari air di warung yang berada tidak jauh dari tenda kami. Hanya ada satu botol besar air saja, harganya Rp 10.000,-. Harganya tidak berubah dengan tahun 2015 lalu dan airnya ini hanya air yang dimasak sendiri oleh bapak warungnya, bukan air mineral. Erlina sibuk ingin memasak, Yati, Lili dan Indri sibuk mau buang air kecil di mana, lalu Yudi, Erlan dan Umam pergi berkeliling. Saya mengamati tingkah Yati, Lili dan Indri ini. Mereka kebingungan mau buang air kecil di mana, tadi malam mereka gagal buang air kecil. Katanya, tidak mau keluar. Matahari sudah naik, para pendaki lain sudah bertebaran di mana-mana, membuat mereka tambah kebingungan. Saya pun hanya bisa tertawa dan menawarkan mereka untuk memakai matras saja untuk saling menutupi ketika buang air kecil. Mereka pun mengiyakan dan jadilah adegan seperti ini.
Kocak sekali mereka ini! Setelah mereka selesai buang air kecil, kami pun memasak untuk sarapan. Memasak nasi sangat memakan waktu. Entah, kami yang tidak ahli atau memang seperti itu. Beberapa kali nasi dibuka dan diaduk-aduk oleh Erlina dan pada akhirnya segenggam nasi jatuh ke tanah. Tidak apa-apa, masih ada nasi goreng sisa semalam untuk tambahan nasi. Sarapan pagi ini kami memasak sop, sarden, nasi goreng sisa semalam dan nasi putih yang kami masak pagi ini beserta snack yang dibawa oleh rombongan Boy Boy Boy ini. Dicampur menjadi satu, tidak ada sendok, hanya ada tangan yang tidak tahu lagi berapa banyak bakteri atau kuman yang hinggap. Syahdu sekali, selamat makan..
Itu nasi yang tidak sengaja dijatuhkan oleh Erlina. Sekalian, bisa dilihat sendiri ya bentuk tenda kami dari depan bagaimana.
Setelah makan, kami beres-beres ala kadarnya dan memulai merangkai plang yang akan kami pasang di puncak. Tidak ada palu, paku ditancapkan ke kayu menggunakan batu. Erlan banyak berjasa dalam pemasangan paku-paku ini, sampai-sampai tangannya berdarah. Bodohnya, P3K yang saya bawa tertinggal di rumah bapak Kades. Sepertinya, Erlan bisa mengatasi pendarahannya sendiri tanpa harus kami bantu. Memang laki-laki harus seperti itu, harus bisa menangani masalahnya sendiri. Jika tidak bisa lagi menahan, silahkan berbagi beban kepada kami (para perempuan). Kami memutuskan harus ada beberapa orang yang menjaga tenda selagi kami memasang plang di puncak dan memungut sampah. Untung kami mengajak rombongan Indri, kami bergantian naik ke puncaknya. Jadi, yang menjaga tenda ada Yati dan Lili. Lalu, Indri ke mana? Dia tidak mau tinggal di tenda, dia excited sekali untuk membantu kami memasang plang ini. Jiwa-jiwa konstruksi Indri tinggi sekali.
Pemasangan paku pada plang
Kami sedikit mengalami kesulitan ketika hendak memasang plang ini di puncak Bukit Besak karena struktur tanahnya yang berbatu. Kami pun hanya bermodalkan linggis hasil pinjaman dari bapak Kades untuk menggali tanah. Setelah plang terpasang di dalam tanah, kami menyiasatinya dengan menopang tiang plang tersebut dengan bebatuan besar yang ada di sekitar sana agar lebih kokoh, seperti membangun candi saja. Alhamdulillah, plang bisa berdiri cukup kokoh di puncak yang banyak angin ini.
Proses pembangunan candi
Yudi yang jadi tukang fotonya
Lindungi Hutan Relawan Palembang
Pemasangan plang selesai, kami memulai untuk memungut sampah di Bukit Besak ini. Yang paling susah adalah memungut sampah-sampah kecil seperti sampah bekas bungkus permen dan bumbu mie instan. Yang paling sial adalah harus memungut sampah botol plastik yang berisi air kencing orang dan tissue basah bekas boker. Sialan! Mengurus hajat sendiri saja tidak bisa. Kami hanya mampu memungut sampah sebanyak dua trash bag besar. Sebelumnya, ketika kami sedang memasak sudah ada beberapa orang yang juga memungut sampah di sana. Kalau tidak salah, mereka dari Wahana Hijau Explorer, warga Prabumulih. Kebetulan, pioneer Wahana Hijau Explorer adalah bang Sidik, yang juga pernah me-leaderi saya pada pendakian ke Bukit Besak tahun 2015 lalu. Sayangnya, saya tidak melihat bang Sidik ada di sana.

Ketika kami turun dari puncak, Indri masih berada di atas puncak menunggu Yati dan Lili. Setiba kami di tenda, Yati dan Lili pun menuju puncak untuk menemui Indri dan tentu saja untuk foto-foto. Dokumentasi itu penting, lho. Selagi mereka berada di puncak, kami mulai bongkar tenda dan packing. Oh iya, ketika sepi pendaki, biasanya banyak monyet-monyet yang berdatangan ke puncak ini hanya untuk sekedar mencari makanan sisa dari para pendaki ataupun bermain bersama rombongan mereka seperti yang saya temukan pada tahun 2015 lalu. Tetapi kali ini, tidak banyak monyet yang saya temui di sini. Saya tidak tahu kenapa, apa mungkin karena populasi mereka semakin sedikit? Atau mereka merasa puncak Bukit Besak ini sudah tidak ramah lagi untuk mereka?

Rombongan Indri sudah turun dari puncak dan packing sudah hampir selesai. Sungguh sulit saat bongkar tenda yang jomplang tadi malam, pasaknya tidak tahu lagi tertancap di bagian mana saja. Trash bag kami letakkan di carrier yang dibawa Erlan dan tasnya Umam. Sebelum turun, kami mendapat roti tawar dengan topping kental manis dan air minum dari dua pendaki yang nama dan asalnya saya lupa. Kami juga sempat meminta tolong untuk difotokan dalam formasi lengkap. Alhamdulillah.
Deretan atas dari kiri ke kanan, ada Indri, Yati, Lili, Erlina
Deretan bawah dari kiri ke kanan, Erlan, Yudi, Umam, saya
Saya dan Erlina bersama dua pendaki yang menawarkan roti. Saya memang tipe orang yang tidak bisa menolak makanan.
Pada saat turun, hanya untuk beberapa puluh menit pertama saja saya menemani langkah kaki Indri. Setelah itu, saya pamit duluan meninggalkan Indri dan menyusul Erlina yang berada paling depan. Kenapa? Karena mode auto pilot saya otomatis langsung aktif setiap turun mendaki. Langkah kaki saya tidak bisa diatur lagi ketika turun dan saya tipe pendaki yang tidak bisa berdiam lama-lama, kaki saya bisa kram dan bekas operasi kaki kiri saya seringkali kambuh jika sudah kelelahan. Daripada menyusahkan orang lain lebih baik saya mengatasinya sendiri dengan cara menghindari hal tersebut terjadi karena hanya saya sendiri yang mengetahui kondisi badan saya.
Indri masih sangat berhati-hati sekali ketika turun, berbeda dengan saya yang sudah auto pilot. Ketika saya berada paling depan bersama Erlina, saya bisa lebih bersantai sedikit. Jika mendaki paling depan, langkah kaki saya akan lebih cepat. Kami berdua tidak ada yang menyimpan air minum di tas kami, untung saja di perjalanan ada bapak-bapak yang lewat menjual air mineral. Air mineralnya baru bukan air yang dimasak oleh mereka. Saya dan Erlina berbagi sebotol air mineral ukuran sedang dengan cepat karena memang kami sangat kehausan. Tidak lama kemudian, Yudi muncul. Lho? Bagaimana ini? Kenapa yang perdana berada di belakang semua? Iya, hanya kami bertiga yang pernah mendaki gunung sebelumnya. Untuk yang lain, pendakian ini merupakan pengalaman perdana mereka mendaki. Mengingat cuaca sedang bagus dan trek turun sudah tidak jauh lagi, kami percaya dengan mereka. Kami masih menunggu mereka, selama suara mereka masih bisa kami dengar berarti semuanya masih aman. Kami hanya terpisah jarak beberapa meter saja kok.

Kami bertiga tiba di warung duluan, yang kemudian disusul oleh Erlan dan Umam. Yati, Indri dan Lili menyusul beberapa menit kemudian. Seperti kemarin, rombongan Boy Boy Boy ini memesan es kuku bima kembali, kecuali Lili. Saya dan Erlan memesan es teh manis, Erlina dan Yudi memesan susu hangat, jika tidak salah ingat sih begitu. Saya lupa pada jam berapa kami tiba di warung tersebut, kemungkinan sih kami tiba pukul 12.30 WIB. Setelah melepas dahaga ala kadarnya, kami memulai untuk memasang plang kembali di dekat warung ini. Alhamdulillah, bapak warung ini memiliki palu. Jadi, kami tidak akan bersusah payah kembali memasang paku di plang ini. Kali ini yang turun tangan memasang paku adalah Erlina.
Proses merangkai plang di warung Pos 1
Struktur tanah tempat plang kedua ini dipasang cukup gembur tetapi masih saja ada batu di dalamnya. Dua kali kami menggali lubang untuk tiang plang ini. Memakai teknik sebelumnya, di tiang-tiang plang ini kami letakkan batu-batu besar agar mengkokohkan pondasinya. Seharusnya sekalian saja disemen ya biar kokoh tetapi tidak usah repot-repot begitu. Tanpa plang peringatan pun, saya kira jika memang kita peduli terhadap lingkungan kita tidak akan pernah merusak alam dengan membuang sampah sembarangan ataupun hal-hal lainnya. Plang hanya sebagai simbol saja bahwa masih ada yang peduli, itu saja!
Foto bersama di depan plang yang kami pasang
Kemarin kami berjanji dengan Pak Pisnin untuk menjemput kami kembali di desa antara pukul 14.00-15.00 WIB. Tetapi ketika selesai memasang plang dan kami kembali ke warung. Indri mengatakan jika hape saya berdering beberapa kali dan ternyata Pak Pisnin yang menelepon. Hape saya berdering kembali, Pak Pisnin menelepon tetapi yang bicara seorang perempuan bukan Pak Pisnin. Perempuan tersebut menyuruh kami untuk cepat turun ke desa karena mereka buru-buru untuk pulang ke Inderalaya. Yang membuat kesal adalah nada bicara perempuan tersebut, seakan-akan memerintah dan sedikit membentak ke saya. Saya tidak senang dengan orang yang tidak tahu sopan santun seperti dia. Apalagi kami sudah membuat janji dengan Pak Pisnin jam berapa harus menjemput kami. Sedangkan sekarang baru pukul 13.00 WIB. Kami juga ingin pulang, bukan kalian saja. Kami bukannya melama-lamakan waktu perjalanan kami. Kami juga memikirkan Yudi dan Erlan yang harus pulang menggunakan motor jadi tidak boleh kemalaman keluar dari desa ini.
Kami sempat berfoto kembali di jembatan gantung. Indri sudah berjalan duluan paling depan, dan setelah itu ada Yudi yang membawa trash bag di belakang kami.
Karena dibentak, saya menjadi tidak peduli dengan mereka yang menunggu di desa tetapi kami pun tidak mengulur waktu untuk kembali ke desa. Bahkan kami sedikit berlari kecil ketika turun menuju desa. Selama di perjalanan turun ke desa pun, Pak Pisnin dan perempuan tersebut masih saja menelepon padahal baru beberapa menit kami turun. Menyebalkan sekali! Saya, Erlina dan Yati berada paling belakang ketika tiba di rumah bapak Kades. Rombongan perempuan yang menelepon tadi duduk-duduk memenuhi teras rumah bapak Kades. Ketika kami sampai di rumah bapak Kades, Pak Pisnin saja tidak ada di sana, hanya ada mobilnya saja. Kami mengambil kembali barang-barang yang kami titipkan kemarin dan memasukkannya kembali ke dalam tas kami sambil menunggu Pak Pisnin muncul. Logikanya, jika rombongan perempuan tadi sangat terburu-buru, seharusnya mereka segera menghubungi Pak Pisnin ketika kami sampai di rumah bapak Kades. Nyatanya, mereka tidak melakukan itu.
Ini salah satu alasan kenapa Yati, Erlina dan saya terakhir sampai rumah bapak Kades.
Eh, ternyata perempuan yang menelepon tadi kenal dengan Yudi, sepertinya teman Yudi. Saya pikir pasti perempuan inilah yang tadi pagi teriak-teriak memanggil Yudi. Sialan! Bagi saya first impression itu penting, sekali dia menyebalkan di mata saya maka seterusnya akan seperti itu di mata saya. Saya tipe orang pengingat dan tidak akan memberikan kesempatan kedua untuk orang. Kalau pun iya, maka perlakuan saya tidak akan sama seperti dulu.

Ketika saya dan Erlina sedang berada di belakang, Indri menyusul karena ingin cuci kaki atau muka, saya lupa. Saat itu juga Pak Pisnin baru muncul. Kami hanya berpamitan dengan istrinya bapak Kades saja karena bapak Kadesnya sedang tidur. Kami pun berterima kasih kembali kepada ibu dan menitipkan salam untuk bapak Kades. Mereka sungguh baik sekali. Yudi dan rombongan perempuan tadi duduk di bagian atas atap angkot, saya dan Erlina duduk di bagian paling depan angkot tetapi bukan duduk bersebelahan dengan Pak Pisnin. Kami tidur sepanjang perjalanan karena kelelahan, tidak tahu dengan rombongan yang duduk di atas.

Kami tiba di Simpang Gajah sekitar pukul 15.30 WIB, tidak terlalu sore untuk rombongan perempuan tadi pulang ke Inderalaya. Saya kira mereka sudah memesan bis atau travel untuk pulang ke Inderalaya jadi mereka terburu-buru seperti itu. Nyatanya tidak, mereka masih bingung pulang mau naik apa. Sungguh anak muda yang tergesa-gesa. Jika sedang dalam perjalanan, nikmati saja perjalananmu. Ketika turun di Simpang Gajah ini, kami bertemu kembali dengan salah satu bapak yang menjadi penumpang angkot kemarin. Beliau pun masih ingat dengan kami dan sialnya beliau menyalahkan saya atas kebisingan kami di angkot kemarin tetapi tentu saja sambil bercanda. Berhubung kami belum makan siang karena diburu waktu (sebenarnya diburu rombongan perempuan tadi), jadi kami memutuskan untuk mencari warung makan di sekitar Simpang Gajah. Yudi, Erlan dan Umam mengambil motor sambil bernegosiasi untuk menumpang mandi. Saya dan Erlina bertugas untuk survey tempat makan. Kami berjalan ke arah kiri, ke arah jembatan, di dekat jembatan ada warung pecel lele. Kami kembali ke Simpang Gajah menemui yang lainnya dan melaporkan hasil survey kami. Mereka terlihat tidak terlalu senang dengan pecel lele, saya dan Erlina kembali mencari warung makan ke arah kanan. Bermodalkan bertanya dengan penduduk setempat, kami mendapatkan informasi jika ada yang menjual model (salah satu makanan khas Palembang) dan semacamnya setelah masjid.

Rombongan dibagi menjadi tiga, yaitu tim pecel lele (saya dan Indri), tim model (Erlina, Yati dan Lili) dan tim pencari tempat mandi (Yudi, Erlan dan Umam). Kami berpencar dengan membawa barang bawaan masing-masing. Selagi menunggu pesanan saya dan Indri datang, cukup lama sih kami menunggu karena si bapak warung sibuk mencarikan charger hape untuk saya. Charger hape saya tertinggal di rumah Erlina dan hape saya sangat penting karena satu-satunya yang menghubungi bis untuk kami pulang nanti malam. Kami memesan bis Melati Indah tujuan Pagaralam-Palembang, jadi sekitar pukul 23.00 WIB bis tersebut akan tiba di Lahat menjemput kami menuju Palembang. Sebenarnya bisa saja kami naik sembarang bis menuju Palembang tetapi kemungkinan bis-bis tersebut penuh dan kami harus berdiri selama perjalanan. Untuk mengambil aman ya lebih baik pesan bis saja.

Selagi menunggu makanan, Yudi dan Erlan datang menghampiri saya dan Indri. Mereka membawa sekantong gorengan. Hebat, dapat dari mana mereka gorengan? Sejauh mata saya dan Erlina memandang tadi tidak ada yang jual gorengan. Mereka pamit untuk pulang duluan karena takut kemalaman. Maklum, mereka kan membawa motor. Ternyata Umam sudah pulang duluan naik bis, dia meminta maaf tidak pamitan karena harus cepat pulang. Iya, rumah Umam berada di daerah Kikim, Lahat, dan setahu saya desa itu sangat jauh dari kota Lahat. Yudi dan Erlan pulang tanpa makan terlebih dahulu, gorengan mereka pun diberikan kepada saya dan Indri. Mereka pun menitipkan salam kepada Erlina, Yati dan Lili karena mereka tidak tahu rombongan model tadi makan di mana.

Setelah makan, saya dan Indri langsung menyusul rombongan model. Patokannya hanya masjid, lokasi warung modelnya berada tidak jauh dari masjid. Ternyata rombongan model juga sudah selesai makan dan mereka menunggu di warung. Sekalian jugalah, Indri ingin membeli sabun untuk mandi nanti. Rombongan model ini bilang jika ada pak haji yang menawarkan kami tempat mandi di hotel anaknya yang berada tepat di seberang Simpang Gajah. Wah, baik sekali! Tetapi kami menolak kebaikan pak haji tersebut, kami orangnya tidak enakan sih. Jadi, jatuhlah pilihan kami ke tempat terakhir yaitu menumpang mandi di masjid. Sudah tidak tahan lagi dari kemarin tidak mandi dan keringat tidak henti-hentinya keluar. Di masjid ini ada dua kamar mandi, satu kamar mandi tidak bisa dikunci, satunya lagi berfungsi dengan baik. Indri mengambil antrian pertama untuk mandi, disusul Erlina kemudian saya, lalu Lili dan Yati.

Waktu shalat maghrib pun hampir tiba, beberapa jemaah sudah mulai meramaikan masjid untuk shalat berjamaah. Di antara kami berlima, hanya Erlina yang bisa melaksanakan shalat sedangkan saya masih dalam hari-hari terakhir menstruasi. Tentu saja kehadiran kami menarik perhatian masyarakat sekitar, menumpang duduk di pinggiran teras masjid dengan bawaan yang lumayan dan dengan wajah kelelahan. Beberapa warga pun sempat menanyakan kami, bahkan menawarkan rumah mereka untuk menjadi tempat singgah kami. Sempat tergiur sih tetapi bis ini kemungkinan datangnya tengah malam, takutnya nanti jam tidur bapak/ibu tersebut terganggu oleh kami. Tempat yang paling pas untuk kami hanya masjid ini saja. Kami disarankan untuk masuk ke dalam masjid saja daripada tergeletak di pinggiran teras masjid. Kami pun dikasih dua kantong duku untuk kami makan, air minum di dalam masjid pun boleh kami minum. Terima kasih banyak bapak/ibu sekalian, sungguh, kalian baik sekali. Setelah shalat isya, kami pun sempat tertidur di masjid. Bagaimana tidak, kami sudah bosan menunggu dan tentu saja kelelahan setelah mendaki.
Lili, Yati dan Indri yang tertidur di masjid
Bis datang tepat hampir tengah malam, untung saja kami tidak jadi menunggu di rumah salah satu warga sana. Yudi dan Erlan pun sudah tiba di Palembang sekitar pukul 22.30 WIB. Saya kira mereka langsung pulang ke Muara Dua ternyata ke Palembang, katanya sih rawan jika malam-malam harus pulang ke Muara Dua. Seperti biasa, saya langsung tidur di bis dan bangun ketika sudah hampir sampai Palembang. Memang senikmat itu tidur di bis setelah pendakian, saudara-saudara. Eh, saya sempat terbangun sebentar ketika di Prabumulih, saya dibangunkan oleh kondektur bis untuk menagih uang ongkos kami berlima. Setelah itu? Lanjut tidur lagi dong bos. Tiba di Palembang pukul 04.30 WIB, saya, Erlina dan Lili langsung memesan go-car menuju rumah Erlina. Yati dan Indri menunggu agak siangan di loket bis tersebut.

Rencana awal, saya ingin pulang ke Betung pagi-pagi sekali tetapi saya harus mengembalikan barang-barang sewaan kami terlebih dahulu. Karena Erlina harus pergi bekerja juga pagi itu. Saya diantarkan oleh Kevin (keponakan Erlina) menuju Edelweis Outdoor Store dan Lili turun di stasiun LRT DJKA untuk menuju rumahnya yang berada di dekat bandara. Dengan bawaan sebanyak itu, saya harus mampir lagi ke Polda untuk mengambil berkas papi saya. Nasib ya nasib. Saya sudah seperti buronan orang tua yang tidak pulang ke rumah selama berbulan-bulan. Iya, bawaan saya banyak sekali. Apalagi saya membawa rumput odot sebanyak 5 kg dan bibit rumput indigofera dari Yogyakarta, biasalah, titipan papi saya. Capek saya tuh.

Pendakian ini saya buatkan video dengan durasi beberapa menit, jika berkenan melihat boleh langsung klik link ini. Terima kasih. Oh iya, jika membutuhkan kontak Pak Pisnin boleh menghubungi saya lewat komentar atau di media sosial saya.

2 comments: